SKRIPSI ANALISIS HUKUM SAKSI TALAK PERSPEKTIF IMAM IBN HAZM DAN IMAM SYAFI`I


BAB 1
PENDAHULUAN

RUSPANDI AMD
RUSPANDI AMD


1. Latar Belakang Masalah
Islam merupakan agama yang sempurna yang mencakup semua aspek kehidupan, baik yang berhubungan dengan Khaliq  atau Pencipta ( حَبْلٌ مِنَ اللهِ ), atau yang berhubungan dengan sesama manusia ( حَبْلٌ مِنَ النَّاسِ ). Diantara bentuk kesempurnaannya yaitu islam tidak hanya menjelaskan ibadah yang manfaatnya dapat dirasakan dirinya sendiri tetapi islam juga mengatur ibadah yang manfaatnya dapat dirasakan oleh orang lain, seperti hal konsepsi islam yang mengatur kehidupan. Dengan demikian detail seperti problematika perkawinan yang diatur secara komprehensif.
Firman Allah dalam al-qur’an.

وَمِنْ اَيَاتِهِ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوْا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً اِنَّ فِيْ ذَلِكَ لَأَۤيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنِ... (الأية).

Dan diantara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah dia menciptakan istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikannya diantara kamu kasih sayang. Sesungguhnya pada yang  demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang yang berfikir.
Perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat ( مِـيْــثَــاقًــا غَـلِـــيْـظًـا ) untuk mentaati perintah allah dan melaksanakannya merupakan suatu ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.  Perkawinan sah jika dilakukan menurut hukum islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Pernikahan merupakan suatu hal yang hingga saat ini masih menjadi kebutuhan dan merupakan suatu hal yang harus selalu diperhatikan, hal ini demi berlangsungnya kehidupan atau regenerasi demi menjaga eksistensi dan kelestarian umat manusia. Dan pernikahan juga merupakan suatu keharusan bagi umat islam sebab ini merupakan sunah Nabi Muhammad SAW yang jika seseorang tidak mau melakukannya maka mendapat ancaman tidak diakui sebagai umat Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana disebutkan dalam hadits.
حَدَّثَنِيْ اَبُوْ بَكْرِ بْنِ نَافِعٍ الْعَبْدِيُّ. حَدَّثَنَا بَهْزٌ. حَدَّثَنَا حَـمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ ثَابِتٍ, عَنْ اَنَسٍ, اَنَّ نَفَرًا مِنْ اَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلُوْا اَزْوَاجَ النَّبِيِّ عَنْ عَمَلِهِ فِى السِّرِّ ؟ فَقَالَ بَعْضُهُمْ : لَا اَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ. وَقَالَ بَعْضُهُمْ : لَا اَكُلُ اللَّحْمَ. وَقَالَ بَعْضُهُمْ : لَا اَنَامُ عَلَى فِرَاشٍ. فَحَمِدَ اللهَ وَاَثْنَى عَلَيْهِ فَقَالَ : (( مَا بَالُ اَقْوَامٍ قَالُوْا كَذَا وَكَذَا ؟ لَكِنِّيْ اُصَلِّيْ وَاَنَامُ. وَاَصُوْمُ وَاُفْطِرُ. وَاَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ. فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ )).

Telah menceritakan kepadaku Abu Bakr Ibn Nȃfi` Al-Abdîy. Telah menceritakan kepadaku Hammad Ibn Salamah dari Tsabit, dari Anas, bahwa sesungguhnya telah ada segolongan dari sahabat nabi bertanya kepada istri-istri nabi tentang amal nabi tatkala sendirian? Diantara mereka ada yang berkata bahwa dia tidak beristri, ada yang tidak pernah makan daging, ada yang mengatakan tidak tidur memakai alas, lalu nabi SAW memuji kepada allah dan bersabda : bagaimana mereka sampai seperti itu ? padahal saya shalat dan tidur, saya puasa tapi saya berbuka, saya juga menikahi para wanita. barang siapa yang tidak suka terhadap sunnahku maka tidak termasuk dari golonganku.

Sejalan dengan berkembangnya zaman dan semakin beratnya persaingan tak jarang kita temui pasangan suami istri berselisih sebab tidak setaranya perekonomian dengan tetangga, terkadang istri menjadikan kekayaan tetangga sebagai tolak ukur kehidupannya, sehingga istri sering sekali mendesak suami untuk bisa memiliki harta yang sebanding dengan tetangganya.
Jika kemauan itu tidak dipenuhi oleh suami, istri sering melakukan suatu hal yang tiak wajar, baik itu berupa selingkuh dengan yang lebih kaya yang dapat memenuhi ke-egoan pikirannya ataupun meminta suami agar menceraikannya. Padahal semua orang islam sudah tau bahwa talak merupakan suatu hal yang dibenci oleh allah.
Mengenai talak ini para pakar ada yang mendefinisikan sebagai berikut:

اَلـطَّــلَاقُ لُـغَــةً حَــلُّ الْــقَــيْــدِ. وَشَـرْعًــا حَـــلُّ عَــقْــدِ الــنِّــكَـاحِ بِــالـلَّــفْـظِ الْآتِـــيْ.
Talak secara epistemologi ialah lepasnya ikatan, sedangkan secara terminologi, talak ialah lepasnya ikatan pernikahan dengan menggunakan lafadz-lafadz tertentu.

Hadits   Rasulullah   SAW   yang menerangkan bahwa   talak   atau   perceraian  itu  adalah perbuatan  yang  halal  yang  dibenci  oleh  Allah  adalah yang berbunyi:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَـيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ, اِنَّ اَبْغَضَ الْـحَــلَالِ عِنْدَ اللهِ الطَّــلَاقُ, رواه ابو داو وابن ماجه والحاكم وصححه.
Dari Abdullah ibn Umar bahwa Rasulullah saw bersabda, Perbuatan halal yang lebih dibenci Allah Azza wa Jalla adalah talak.

Perceraian adalah putusnya suatu hubungan suami dan isteri yang karena   sudah tidak ada lagi kecocokan satu sama lain yang mengakibatkan hubungan mereka  tidak lagi memungkinkan tercapainya tujuan perkawinan. Pada umumnya perceraian dianggap tidak terpuji akan tetapi bila keadaan suami dan isteri menemui jalan buntu untuk mendapatkan solusi dalam memperbaiki hubungan yang tidak harmonis antara suami dan isteri, maka memutuskan hubungan suami dan isteri atau hubungan perkawinan dengan perceraian menjadi hal yang wajib dilakukan oleh setiap pasangan suami dan isteri.
Yang dimaksud dengan talak menurut Pasal 117 Kompilasi Hukum Islam adalah “Ikrar suami di hadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan”. Ini juga diatur dalam Pasal 129 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi : “Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tulisan kepada Pengadilan Agama yang bersangkutan yang mewilayahi tempat tinggal isteri dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu”.
Jadi talak yang diakui secara hukum Negara adalah talak yang dilakukan atau diucapkan oleh suami di Pengadilan Agama. Dengan demikian, dari penjelasan cerai karena talak sebagaimana yang dimaksud dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang telah diuraikan di atas bahwa hanya bisa dilakukan dan sah secara hukum apabila dilakukan melalui proses sidang di Pengadila Agama.
Berarti, Salah satu syarat tersebut adalah pengucapan ikrar talak di depan persidangan sebagai tanda lisan bahwa salah satu pihak  telah teguh pendiriannya dan niatnya untuk mengakhiri hubungan perkawinannya.
Walaupun dalam konteks fikih klasik tidak mensyaratkan perceraian atau talak harus di depan sidang Pengadilan, namun dalam konteks hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia, mengharuskan perceraian atau talak haruslah di depan sidang Pengadilan. Maka wajib bagi kita untuk mengikuti apa yang telah menjadi ketentuan pemerintah, karena tujuan pemerintah membuat sebuah hukum adalah agar tercapainya sebuah keadilan. Adil dalam artian meletakkan sesuatu sesuai dengan proporsinya.
Namun, bagi sebagian orang lebih-lebih yang berstatus sebagai santri atau pernah nyantri di pondok pesantren yang mana disana telah terdoktrin dan semua literatur fiqih klasik yang dia palajari sudah jelas bahwa, talak itu cukup dengan mengucapkan lafadz-lafadz talak yang ditujukan kepada istri, kebijakan yang mengharuskan mengikrarkan talak di depan hakim ini sangatlah menjadi sesuatu yang seakan sangat mengganjal dipikirannya, bahkan sering kita temukan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut “mengapa pengadilan mengharuskan mengikrarkan talak di depan hakim, apakah ada hukum baru atau memang ada imam iamam madzhab yang mengatakan seperti demikian. mengapa ada perselisihan antara hukum fiqih klasik dan KHI yang menjadi salah satu pijakan di lembaga pengadilan agama tersebut .
Suatu kejadian ada dari teman saya sendiri yang sudah jelas-jelas menjatuhkan talak kepada istrinya, istrinyapun paham dan tahu dari konsekuensi talak tersebut, maka diapun menjalani masa iddah selama 3 kali sucian atau sekitar 3 bulan, namun, ketika mereka ingin mendapatkan legalitas atas talaknya tersebut di pengadilan agama ternyata talak yang dijatuhkan suami itu tidak disahkan, namun harus menjatuhkannya di depan saksi dan di sepan hakim pengadilan agama, Merekapun menjadi bingung, namun apa boleh buat, mereka hanya bisa memenuhi persyaratan itu untuk mendapatkan surat legalitas talaknya tersebut, yaitu dengan mengikrarkan talaknya di depan saksi dan hakim.
Yang kedua adalah, kejadian yang dialami kami sendiri, yaitu waktu melakukan Praktikum Peradilan Agama (PPA) di Pengadilan Agama kecamatan Kepanjen, kabupaten Malang, propinsi Jawa Timur, waktu itu kami sedang berkumpul dengan bapak Hakim Pamong sambil berbagi pengetahuan tentang ilmu yang ada di kantor PA tersebut, lalu diantara kami ada yang bertanya seperti ini kepada Hakim pamong tersebut, “bagaimana cara kami sebagai santri untuk menanngapi kebijakan pengadilan agama yang tidak mengesahkan talak yang dijatuhkan bukan di depan Hakim atau Pengadilan?”. Ternyata, Jawaban yang kami dapatkan dari bapak Hakim pamong itu tidak dapat memuaskan pikiran kami dan justru menimbulkan kebingungan.
Dengan adanya pertanyaan-pertanyaan dan realita yang membingungkan banyak orang ini menjadi pendorong bagi kami untuk mengangkat penelitian yang berjudul “Analisis Hukum Saksi Talak Perspektif Imam Ibn Hazm dan Imam Syafi`i”, sebab diantara salah satu penyebab perbedaan konsep talak antara KHI dan Hukum islam ialah faktor pendapat dari imam ibn Hazm, supaya nantinya dapat dipahami masalah penyebab adanya perbedaan konsep dalam menjatuhkan talak antara KHI dan Hukum islam, dengan harapan bisa memberikan kontribusi pengetahuan baru yang bisa menghilangkan kebingungan ketika dihadapkan pada permasalahan seperti tersebut di atas.

A. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas kami ambil satu rumusan masalah yang nantinya akan kami jadikan sebagai acuan penelitian ini. Rumusan masalah tersebut ialah:
1. Bagaimana hukum saksi talak perspektif imam ibn Hazm dan imam Syafi`i?
2. Pendapat siapa yang dijadikan landasan hukum di Indonesia yang mengharuskan adanya saksi talak?

B. Tujuan Penelitian
Melihat pada kebingungan masyarakat dalam menanggapi perbedaan konsep talak, pada penelitian kali ini penulis mempunya tujuan sebagai berikut.
1) Untuk mengetahui hukum saksi talak antara imam ibn Hazm dan imam Syafi`i.
2) Untuk mengetahui dasar pengambilan hukum di indonesia yang mengharuskan adanya saksi talak.

C. Manfaat Penelitian
Sedangkan manfaat yang bisa diambil dari penelitian ini adalah:
1. Bagi penulis, dapat menambah wawasan yang selanjutnya bisa untuk dijadikan pedoman demi mengatasi kebingungan dalam menanggapi keharusan adanya saksi  talak yang berlaku di negara Indonesia.
2. Bagi pembaca, bisa dijadikan acuan untuk perolehan yang lebih baik saat melakukan  penelitian yang lebih mendalam.
3. Bagi penegak hukum, dapat dijadikan suatu kontribusi pemikiran yang sekiranya bisa untuk diperhitungkan demi pengambilan kebijakan yang lebih akurat.

D. Penelitian Terdahulu
Untuk mengetahui kelebihan, persamaan dan perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang lain yang sudah ada sebelumnya peneliti perlu membuat tabel untuk menyajikan ini.
Tabel 1.1 : Penelitian terdahulu
No Nama Judul Persamaan Perbedaan Original Peneliti
1 Miftahurrochmah tahun 1994
Beberapa masalah cerai talak yang dijatuhkan di luar sidang pengadilan menurut hukum islam dan undang undang perkawinan Beberapa masalah cerai talak yang dijatuhkan di luar sidang pengadilan menurut hukum islam dan undang undang perkawinan. Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti kali ini ialah sama-sama membahas masalah cerai yang dijatuhkan di luar pengadilan.
Beberapa masalah cerai talak yang dijatuhkan di luar sidang pengadilan menurut hukum islam dan undang undang perkawinan. Ini jelas berbeda dengan penelitian yang akan kami lakukan, yaitu pada titik pembahasan yang kami titik beratkan atau kami fokuskan ialah tentang penyebab perbedaan konsep talak biasa (bukan talak yang dita`liq ataupun yang lain) yaitu dalam hal penetapan saksi Analisi Hukum Saksi Talak Perspektif Imam Ibn Hazm dan Imam Syafi`
2 Eko Pratama Putra tahun 2010 Problematika talak di luar pengadilan bagi masyarakat di wilayah Tigaraksa Problematika talak di luar pengadilan bagi masyarakat di wilayah Tigaraksa. Persamaan dengan penelitian kami kali ini ialah sama-sama menyinggung talak yang dijatuhkan di luar pengadilan agama Problematika talak di luar pengadilan bagi masyarakat di wilayah Tigaraksa. ini menitik beratkan pada pembahasan dampak positif atau negatif dari tidak menyaksikannya atu mengikrarkannya sebuah talak.
3 Arif Nur Hakim tahun 2012
Tinjauan maslahah  mursalah tentang keharusan ikrar talak.
Problematika talak di luar pengadilan bagi masyarakat di wilayah Tigaraksa, persamaan dengan pembahasan yang akan dilakukan oleh peneliti kali ini ialah mengenai talak yang dilakukan di luar pengadilan, atau tidak di depan hakim Peneliti ini membahas tentang maslahat atau keuntungan dari mengikrarkan talak dan juga membahas tentang dampak negatif dari tidak mengikrarkan talak. Sedangkan peneliti lebih fokus terhadap pembahasan isthinbathu al-hukmi masalah saksi dalam talak yang dijadikan konsep talak
4 Muhammad Dhohri tahun 2015 Talak di luar pengadilan perspektif ulama buntet pesantren cirebon Talak di luar pengadilan perspektif ulama buntet pesantren cirebon. Ini sama-sama menyinggung tentang talak yang dilakukan di luar pengadilan Penelitian ini lebih menitik beratkan terhadap nikah yang tidak diikrarkan di depan hakim. Sedangkan peneliti lebih fokus terhadap pembahasan dasar atas ketentuan hukum keharusan adanya saksi talak yang dijadikan konsep talak
5 Muhammad Izzi tahun 2017 Studi komparatif antara imam Ibn Hazm dan imam Syafi`i mengenai hukum ta`liq talak Studi komparatif antara imam Ibn Hazm dan imam Syafi`i mengenai hukum ta`liq talak, ini membahas tentang perbedaan pendapat masalah sah atau tidaknya jika talak masih memakai atau menggunakan sighat ta`lik (digantungkan pada sesuatu). Persamaannya dengan judul yang diangkat peneliti kali ini ialah dalam segi pembahasannya mengenai talak Study komparasi mengenai konsep talak menurut KHI dan hukum islam (perspektif imam Ibn Hazm dan imam Syafi`i). fokus pada talak yang tanpa menggunakan sighat ta`liq, jadi di antara dua penelitian ini jelas berbeda dalam segi fokus pembahasannya. penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti kali ini ialah tertuju pada talak yang biasa bukan yang dita`liq, baik yang dita`liq dengan sumpah, syarat ataupun sejenisnya.

Pada keterangan tabel di atas dapat kita simpulkan bahwa, meskipun ada kesamaan antara beberapa penelitian terdahulu dengan judul yang akan saya angkat akan tetapi dalam sistematika atau fokus pembahasannya sangat jelas perbedaannya, judul yang akan kami angkat, Analisi Hukum Saksi Talak Perspektif Imam Ibn Hazm dan Imam Syafi`i, ini masih terbilang langka padahal dalam masalah talak sudah sering terjadi permasalahan, maka dari itu saya terdorong untuk mengangkat judul tersebut di atas.

E. kajian Teori
1. Analisis
Analaisa berasal dari kata yunani kuno “Analisis” yang berarti melepaskan. Analisis terbentuk dari dua suku kata yaitu “Ana” yang berarti kembali dan “Luein” yang berarti melepas. Sehingga pengertin analisa yaitu suatu usaha dalam mengamati secara detail pada suatu hal atau benda dengan cara menguraikan komponen-komponen tersebut untuk dikaji lebih lanjut.
Kata analisa atau analisis banyak digunakan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan baik ilmu bahasa, alam dan ilmu sosial. Sesungguhnya semua bisa dianalisa hanya saja cara dan metode analisanya berbeda-beda pada tiap bagian kehidupan. Untuk mengkaji suatu permasalahan dikenal dengan suatu metode yang disebut dengan metode ilmiah.
Menurut Gorys Keraf, “Analisa” adalah sebuah proses untuk memecahkan suatu kedalam bagian-bagian yang saling berkaitan satu sama lainya. Sedangkan menurut Komaruddin mengatakan bahwa, “Analisa”  merupakan suatu kegiatan berfikir untuk menguraikan suatu keselurahan menjadi komponen sehingga dapat mengenal tanda-tanda dari setiap komponen, hubungan satu sama lain dan fungsi masin-masing dalam suatu keseluruhan yang terpadu.
2. Pengertian hukum
Hukum yang dimaksud di sini adalah hukum syara`, tentang pengertiannya ulama’ fiqih telah memberikan definisi sebagai berikut:
الحكم الشرعي: يُعرّف علماء أصول الفقه الحكم الشرعي بأنّه خطاب الله عز وجل المرتبط بأفعال المكلفين اقتضاءً أو تخييراً أو وضعاً، أي أنَّه ما اقتضى الشرع وأمر بفعله أو تركه، أو تخيير الإنسان بين الفعل والترك بدون وقوعه في المحرم والمكروه، وهو من الأحكام التكليفية المهمة بحسب ما جاء في أقسام خطاب التكليف والأحكام الوضعية في خطاب الوضع، أمَّا معنى شرع فهو ما شرعه الله عز وجل على لسان النبي من الأحكام الشرعية.
Hukum syari`at: ulama’ usul fiqih mendevinisikan hukum syar`i bahwasanya ialah perintah alloh yang berhubungan atau berkenaan dengan kegiatan orang-orang mukallaf, baik secara persyaratan  atau tuntutan, boleh memilih atau menyeleksi dan status perseorangan. Artinya, itu adalah suatu keharusan dari Syariah dan diperintahkan untuk dilakukan atau ditinggalkan Atau member pilihan pada manusia antara melakukan dan meninggalkan tanpa menyebabkannya terjerumus pada keharaman dan yang dibenci, itu merupakan mandat penting dengan menilai suatu yang ada dalam bagian-bagian khithab taklif dan hukum-hukum  wadl`iyah dalam khithab wadl`i. Sedangkan makna hukum secara syara` ialah: sesuatu yang disyari`atkan allah melalui lisan nabinya dari beberapa hukum syari`at.

3. Pengertian saksi
Arti kesaksian menurut bahasa merupakan terjemah dari bahasa arab yang berasal   dari kata  شَهِدَ  يَشْهَدُ  شَهَادَةً  yang berarti berita yang pasti. Akan tetapi, berbicara soal saksi dalam kitab fiqh cenderung mendefinisikan dengan istilah kesaksian yang di ambil dari kata مُشَاهَدَةٌ yang artinya melihat dengan mata kepala, karena lafadz (orang yang menyaksikan)itu  memberitahukan  tentang  apa  yang  disaksikan  dan  dilihatnya. Maknanya ialah pemberitahuan seseorang tentang apa yang dia ketahui dengan lafadz “aku menyaksikan atau aku telah menyaksikannya”.
Saksi disebut juga dengan شَاهِدٌ (saksi lelaki) atau  شَاهِدَةٌ (saksi perempuan) bentuk jamaknya adalah شُهَدَاءُ terambil dari kata مُشَاهَدَةٌ yang artinya adalah menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Jadi yang dimaksud saksi adalah manusia hidup. Alat bukti saksi, dalam hukum acara perdata Islam di kenal juga dengan sebutan اَلشَّهَادَةُ, dalam “Kamus Arab-Indonesia Terlengkap” karangan Ahmad  Warson Munawwir,  kata  اَلشَّهَادَةُ  mempunyai  arti sama dengan  اَلْبَيِّنَةُ  yang artinya Bukti.
4. Talak
Talak, sebagaimana yang telah di definisikan oleh mushannif, ialah sebagai berikut:
اَلطَّلَاقُ لُغَةً حَلُّ الْقَيْدِ. وَشَرْعًا حَلُّ عَقْدِ النِّكَاحِ بِاللَّفْظِ الْآتِيْ.
Talak secara epistemologi ialah lepasnya ikatan, sedangkan secara terminologi, talak ialah lepasnya ikatan pernikahan dengan menggunakan lafadz-lafadz tertentu.
Istilah lain dari talak adalah “Furqah‟ yang berarti bercerai, yang merupakan lawan kata dari berkumpul. Perkataan Talak dan Furqah mempunyai pengertian umum dan khusus. Dalam arti umum berarti segala macam bentuk perceraian yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim.  Sedangkan dalam arti khusus ialah perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami.

F. Metode Penelitian
1.   Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipilih dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library Research).  Jenis penelitian ini bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi serta pengetahuan tentang hukum saksi talak perspektif imam ibn Hazm dan imam Syafi`i dengan bantuan bermacam-macam materi yang terdapat di perpustakaan, seperti; buku-buku, majalah, dokumen, catatan, kisah-kisah sejarah dan wawancara serta lain-lainya.
2.   Pendekatan
Dalam rangka menemukan jawaban terhadap penelitian mengenai analisis hukum saksi talak perspektif imam ibn Hazm dan imam Syafi`i, maka dalam penelitian ini kami menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif.
Penelitian ini berupa telaah yang dilaksanakan untuk memecahkan suatu masalah yang pada dasarnya bertumpu pada penelaahan kritis dan mendalam terhadap bahan-bahan pustaka yang relevan. Telaah pustaka seperti ini biasanya dilakukan dengan mengumpulkan data informasi dari beberapa sumber data yang kemudian di elaborasi untuk mendapatkan pencapaian pada tujuan dari sebuah penelitian.
Dengan demikian diharapkan menemukan nuansa baru dalam  fiqih Islam, yaitu dengan cara menganalisi dan mengembangkan pendapat yang sudah ada.
3.   Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini sesuai dengan jenis penggolongannya ke dalam  penelitian  perpustakaan (library  research), maka  sudah  dapat  dipastikan bahwa  data-data  yang  dibutuhkan  adalah dokumen, yang berupa  data-data  yang diperoleh  dari  perpustakaan melalui  penelusuran  terhadap  buku-buku  literatur,  baik yang bersifat Primer ataupun yang bersifat Sekunder.
a) Sumber primer dalam penelitian ini adalah kitab-kitab yang memuat pendapat mengenai hukum saksi talak perspektif imam Ibn Hazm, ialah  kitab, al-Muhalla bi al-Atsar, karangan imam ibn Hazm, dan karangan Imam ibn Hazm yang lain yang memuat masalah fiqih. dan karangan Imam Syafi`I, seperti kitab Al-Um dan karangan Imam Syafi`I yang lain yang memuat masalah fiqih.
b) Sumber skunder, untuk mendapatkan hasil penelitian yang lebih mendalam dan luas (komprehensif), maka kami juga menggunakan sumber skunder yang berasal dari kitab-kitab fiqih baik klasik, kontemporer ataupun literatur-literatur lain yang memiliki kaitan terhadap topik pembahasan yang sedang peneliti telaah. Sumber sekunder dalam hal ini difungsikan sebagai pelengkap terhadap sumber primer yang telah ada, Seperti jurnal, artikel dan internet dan lain-lain.
4.   Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data
Teknik pengumpulan data ini dilakukan  dengan  cara mengumpulkan data-data dari berbagai sumber yang telah ditentukan, baik sumber primer maupun sekunder, yaitu dengan cara menghimpun beberapa pendapat ulama yang telah terkodifikasi dalam fiqih Islam mengenai talak serta penjelasan talak dalam al-Quran dan hadits. Peneliti dapat meneliti ini dengan cara menelusuri berbagai literatur yang sudah ada, baik yang berbahasa Arab, ataupun literatur yang berbahasa Indonesia.
Setelah beberapa data-data terkumpul, langkah selanjutnya adalah melakukan  elaborasi (penggarapan secara tekun dan cermat) atau pengolahan terhadap data-data tersebut dengan cara menelaah kembali relevansinya dengan topik yang dijadikan sebagai objek penelitian, yang dalam hal ini adalah mengenai “Analisis Hukum Saksi Talak Perspektif Imam ibn Hazm dan imam Syafi`i”.

G. Sistematika Pembahasan
Demi mendapatkan kemudahan dalam memperoleh gambaran dalam melakukan penelitian ini, peneliti perlu mencantumkan sistematika pembahasan sebagai berikut:
(Baba I), Berisi Pendahuluan Yang Memuat:
A) Latar Belakang, B) Rumusan Masalah, C) Tujuan Penelitian, D) Manfaat Penelitian, E) Penelitian Terdahulu, F) Kaijan Teori, G) Metode Penelitian, H) Sistematika Pembahasan.
(BAB II), Analisis hukum saksi talak perspektif imam ibn Hazm dan imam Syafi`i, meliputi:
A) Riwayat hidup imam ibn Hazm dan imam Syafi`i, B) Pendidikan imam ibn Hazm dan imam Syafi`i, C) Guru-guru dan murid-murid imam ibn Hazm dan imam Syafi`i, D) Karya-karya imam ibn Hazm dan imam Syafi`i.
(BAB III), Tinjauan global mengenai saksi talak, meliputi:
A) Pengertian saksi. B) Rukun dan Syarat Saksi. C) Landasan hukum saksi talak.
(BAB IV), Pandangan imam ibn Hazm dan imam Syafi`i mengenai saksi talak, meliputi:
A) Pendapat para ulama tentang saksi talak, B) Pendapat Imam ibn Hazm dan Imam Syafi`i mengenai kedudukan saksi talak.
(BAB V), Meliputi:
A) Kesimpulan, B) Saran.
Daftar Pustaka

H. Jadwal Penelitian
Mengacu kepada desain di atas, maka seluruh rangkaian kegiatan penelitian ini direncanakan akan dilaksanakan mulai bulan maret 2018 hingga juli 2018 dengan jadwal sebagai berikut :
No Kegiatan Apr 2018 Mei2018 Jun2018 Jul 2018 Aug2018 Sep2018 Okt 2018
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Penulisan proposal
2 Seminar proposal
3 Revisi proposal
4 Penggalian data
5 Analisis data
6 Penulisan laporan
7 Presentasi laporan
8 Revisi laporan
Tabel 1.2 : Jadwal Penelitian




BAB II
BIOGRAFI IMAM IBN HAZM DAN IMAM SYAFI`I
1. Biografi Imam Ibn Hazm
A. Nasab Imam Ibn Hazm
Nama asli Imam ibn Hazm ialah, al-Allãmah, Abu Muhammad, Ali ibn Ahmad ibn Sa`id ibn Hazm ibn Ghãlib ibn Shãlih ibn Khalaf ibn Ma`dan ibn Sufyãn ibn Yazid.
Versi lain ada yang mengatakan bahwa nama lengkap Imam Ibn Hazm adalah, Alĩ Ibn Ahmad Ibn Sa`ad Ibn Hazm Ibn Ghãlib Ibn Shãlih Ibn Khalãf Ibn Ma`dan Ibn Sufyãn, nama julukan (kunyah)-nya adalah “Abu Muhammad”. Ia dilahirkan pada hari rabu tanggal 7 November 994 M, bertepatan dengan hari akhir bulan Ramadlãn 384 H, yaitu pada waktu sesudah terbit fajar sebelum munculnya matahari pagi `Idul Fitri di Cordoba, Spanyol.
Banyak ulama klasik dan kontemporer memakai nama singkatnya dengan sebutan Ibn Hazm dan terkadang dihubungkan dengan panggilan al-Qurthubĩ atau al-Andalusĩ yang di-nisbatkan pada tempat kelahirannya, Cordova dan Andalus. Kadang Ia dikenal dengan sebutan al-Dzãhirĩ sehubungan dengan aliran fiqh dan pola fikir al-Dzãhirĩ yang dianutnya. Kakek Ibn Hazm beserta keluarga Bani Umayyah pindah ke Andalusia, sementara keluarga Bani Hazm tinggal di Manta Lisyam, kota kecil yang menjadi pemukiman orang Arab di Andalusia. Di sana mereka hidup dengan kemewahan dan kedudukan terhormat. Oleh karena itu Ibn Hazm dan keluarganya memihak pada Bani Umayyah.
Ayah Ibn Hazm atau Ahmad Ibn Sa`id berpendidikan cukup tinggi, ia menjadi pejabat di lingkungan kerajaan Khalĩfah Abu Amir Muhammad Ibn Abĩ `Ãmir (Al-Manshûr) dan kemudian menjadi wazĩr (mentri).  Ia tinggal bersama keluarganya di Muniyyat al-Mughĩrat, pemukiman pejabat istana di bagian Timur Cordova dekat istana al-Zahirat, pusat kerajaan al-Manshûr. Ia juga sempat menjabat wazĩr dimasa pemerintahan al-Mudzaffar yang wafat pada tahun 402 H3.
B. Pendidikan Imam Ibn Hazm
Pada masa kecilnya, Ibn Hazm diasuh oleh wanita-wanita istana. Ia dibimbing dan diasuh oleh guru-guru wanita yang mengajarkannya membaca dan menghafal al-Qur’an, syi`ir dan melatihnya menulis. Di saat usianya menginjak remaja, ia diajak oleh ayahnya menghadiri majlis-majlis ilmiah dan budaya yang sering diadakan oleh khalifah al-Manshûr dan dihadiri pula oleh ahli-ahli syi`ir dan ilmuwan. Ia juga belajar kepada seorang guru yang alim dan wara` yaitu Abu al-Husain Ibn Alĩ al-Farisi.
Ibn Hazm selalu disamping guru pilihan ayahnya itu, seorang guru yang melenyapkan dorongan-dorongan nafsu diri murid muda seperti Ibn Hazm. Ketika itu wanita tidak berhijab di depan kaum pria, menurut Ibn Hazm adalah merupakan hal yang biasa di dalam dunia pendidikan di Andalusia.
Dengan kecepatan daya tangkap, kekuatan daya ingat dan kecermatan pemahamannya, Ibn Hazm menjadi pemuda yang nyaris mengungguli guru-gurunya. Guru Ibn Hazm lainnya adalah Abu al-Qãsim Abdu al-Rahmãn Ibn Abĩ Yazĩd al-Mishrĩ (wafat tahun 410 H). Ibn Hazm diajak untuk menghadiri majelis untuk belajar ilmu hadits dan sastra Arab. Ilmu yang mula-mula dipelajari oleh Ibn Hazm adalah ilmu hadits setelah ia menghafal al-Qur’an dan ilmu syai`ir bahasa Arab.
Ilmu hadits juga dipelajarinya dari al-Hamazanĩ dan Abû Bakar Muhammad Ibn Ishaq. Ilmu fiqh pertama kali diperoleh dari fiqh madzhab Maliki, karena madzhab ini yang banyak dianut oleh masyarakat Andalusia. Bahkan bisa dikatakan madzhab Maliki adalah madzhab resmi negara. Diriwayatkan bahwa Ibn Hazm pernah berkata bahwa dimasanya ada dua madzhab yang tersebar karena didukung oleh penguasa negeri, yaitu madzhab Abu Hanifah di Timur (wilayah Irak dan sekitarnya) dan madzhab Mãlikĩ di Barat (Spanyol dan sekitarnya).
Faktor mengapa Ibn Hazm mendalami ilmu fiqh dijelaskan seperti yang diriwayatkan dari Abu Muhammad Ibn al-‘Arabĩ, yaitu ketika Ibn Hazm datang ke masjid untuk shalat jenazah bagi seorang pembesar saudara ayahnya, ia langsung duduk tanpa shalat tahiyyat masjid, guru pembimibngnya memberi isyarat untuk bangkit berdiri dan shalat tahiyyat masjid namun Ibn Hazm tidak melakukannya. Banyak orang di sekitarnya berkata (seakan mengejek), Sudah sedewasa ini usiamu namun kamu belum mengerti bahwa shalat tahiyyat masjid itu wajib. Usianya kala itu 26 tahun. Ibn Hazm berkata, Lalu aku bangkit dan mengerjakan Shalat tahiyyat masjid, aku baru paham isyarat guruku tadi.
Di waktu lain ketika Ibn Hazm masuk masjid, ia mau mengerjakan shalat tahiyyat masjid, saat itu waktu sudah menjelang maghrib, tetapi orang yang berada di sebelahnya menegurnya, duduklah, sekarang bukan waktunya untuk shalat. Ibn Hazm merasa bingung dan gelisah dengan keadaan ini. Akhirnya kepada guru pembimibngnya ia minta diantarkan ke ulama ahli fiqh.
C. Guru Imam Ibn Hazm
1) Abû Abdillãh Ibn Dahun.
Dia adalah seorang mufti ternama di Cordova. Ia lalu mengajarkan kepada Ibn Hazm kitab al-Muwattha’ karangan Imam Mãlik Ibn Anas. Ibn Hazm mempelajari kitab ini selama tiga tahun dan setelah menguasainya, ia mulai aktif melakukan diskusi dan perdebatan (munãdzarah) tentang fiqh.
2) Ibn Abdi al-Bãr al-Mãlikĩ
3) Abdullah al-Azdi (wafat tahun 403 H)
Dia dikenal dengan sebutan Ibn al-Fardhĩ, seorang qadli Valencia. Ia mempelajari ilmu fiqh dan hadits darinya. Di samping ahli dalam bidang fiqh dan hadits, Ibn al-Fardhĩ juga ahli dalam bidang sastra dan sejarah, khususnya tentang biografi para ulama Andalusia. Ibn al-Fardhĩ wafat dibunuh oleh tentara Barbar tahun 403 H.
4) Muhammad Ibn al-Hasan al-Mazhaji.
Dia lebih dikenal dengan nama Ibn al-Katãnĩ dan juga Ahmad Ibn Muhammad Ibn Abdil Waris. Dari gurunya tersebut Ibn Hazm mempelajari ilmu manthiq (logika) dan filsafat.
Ada seorang guru yang sangat berpengaruh terhadap pemikiran Ibn Hazm yaitu Mas`ud Ibn Sulaimãn Ibn Muflit, Abu al-Khiyãr (wafat tahun 426 H), seorang ulama ahli fiqh muqaran yang bermadzhab al-Zãhirĩ. Gurunya ini cenderung mengambil arti dzahir dari nash dan mempunyai daya pilih di antara berbagai madzhab. Yang menarik adalah sikapnya yang bebas untuk berpikir dan tidak terikat dengan madzhab tertentu.
Dibekali dengan ilmu yang makin luas, serta karunia intlektualitas yang tinggi ditambah dengan kondisinya yang selalu berpindah-pindah dan dimanfaatkan untuk mengembara mencari ilmu, Ibn Hazm banyak melakukan perdebatan-perdebatan dengan ulama-ulama dimasanya. Ia tidak hanya dikenal sebagi seorang muhaddits dan faqih, namun ia juga ahli dalam berbagai bidang, seperti ushul fiqh, sastra Arab, sejarah, manthiq, filsafat, ilmu kalam dan ilmu perbandingan agama.
Di samping itu suasana keilmuan pada masa Ibn Hazm sangat mendukung dalam pencariannya akan ilmu pengetahuan, seperti perpustakaan dan universitas Cordoba yang berkembang pesat serta di Toledo (Spanyol) menjadi pusat kegiatan penerjemahan ilmu-ilmu Yunani, baik filsafat, matematika dan kedokteran. Ibn Hazm adalah pengembang madzhab al-Dzãhirĩ, bahkan ia dinilai sebagai pendiri kedua setelah Daud al-Dzãhirĩ. Ketika Ibn Hazm menginjak remaja yaitu dalam usia lima belas tahun, terjadi pemberontakan yang melibatkan ayah Ibn Hazm, setelah terjadi kekacauan yang terjadi lantaran perebutan kekuasaan, ayah Ibn Hazm meninggalkan lapangan politik serta pindah dari bagian Timur Cordoba ke bagian baratnya, kemudian wafat di sana pada tahun 402 H.
D. Murid Imam Ibn Hazm
Di antara murid-murid Ibn Hazm yang terkenal adalah:
1) Muhammad ibn Futûh ibn Îd, yang memperdalam ilmu sejarah.
2) Abû Abdillah al-Humaidĩ al-Andalusĩ, yang mendalami dan mengajarkan buku-buku karya Ibn Hazm sendiri.
E. Karya Karya Imam Ibn Hazm
Berikut ini adalah karya-karya Imam Ibn Hazm yang sangat berharga:
1) Kitab al-Muhalla ( المحلى ) atau al-Muhalla fi Syarh al-Mujalla bi al-Hujaj wa al-Atsar  merupakan karya Imam Ibnu Hazm al-Andalusi rahimahullah (456H), yang juga dikenali sebagai imam dalam mazhab Zhahiri. al-Muhalla merupakan sebuah karya besar dalam bidang fiqh.
2) Bidang Ilmu Jadal (ilmu debat terhadap faham-faham keagamaan). Dalam bidang ini Ibn Hazm mengarang al-Fishãl Baina ahli al-Arã’ wa al-Nihal, al-Shadi wa al-Radi ‘ala Man Kaffara Ahl al-Ta’wil min Firãq al- Muslim.
3) Bidang Politik, al-Imãmah wa al-Siyãsah.
4) Bidang ilmu jiwa, Akhlaq al-Nafs. Dan masih banyak lagi karya Imam Ibn Hazm yang lainnya. Bahkan dituturkan oleh putranya, Abu Rãfi’ al- Fadl, bahwa jumlah kitab-kitab karya Ibn Hazm tidak kurang dari 400 jilid.

2. Biografi Imam Syafi`i
A. Nasab Imam Syafi`i
اسمه: محمد، ويُكْنَى، أبو عبد الله. نَسَبُه مِنْ جِهَّةِ أبيه: هو محمد بن إدريس بن العباس بن عثمان بن شافع بن السائب بن عبيد بن عبد يزيد ابن هاشم بن المطلب بن عبد مناف.
Nama asli Imam Syafi`I adalah, Muhammad Ibn Idris Ibn Abbas Ibn Utsman Ibn Syafi` Ibn Sa’ib Ibn `Abid Ibn Yazid Ibn Hasyim Ibn Abdi al-Manaf, Sedangkan Nama Julukan (Kunyah) Nya Adalah, Abu Abdillah.

Imam Syafi`i lahir di Gaza, Palestina pada tahun 150 Hijriyah (767-820 M), berasal dari keturunan bangsawan Quraisy dan masih keluarga jauh Rasulullah SAW. dari ayahnya, garis keturunannya bertemu di Abdul Manaf (kakek ke-tiga Rasulullah) dan dari ibunya masih merupakan cicit Ali ibn Abi Thalib RA. Semasa dalam kandungan, kedua orang tuanya meninggalkan Mekkah menuju Syam, setibanya di Gaza, ayahnya jatuh sakit dan berpulang ke rahmatullah, kemudian beliau diasuh dan dibesarkan oleh ibunya dalam kondisi yang sangat prihatin dan serba kekurangan, pada usia 2 tahun, ia bersama ibunya kembali ke Mekkah dan di kota inilah Imam Syafi`i mendapat pengasuhan dari ibu dan keluarganya secara lebih mendalam.
Saat berusia 9 tahun, beliau telah menghafal seluruh ayat Al-Quran dengan lancar bahkan dalam perjalanannya dari Mekkah menuju Madinah beliau sempat 16 kali khatam al-Quran. Setahun kemudian, kitab Al Muwattha’ karangan imam malik ibn Anas yang berisikan 1.720 hadits pilihan juga dihafalnya di luar kepala. Imam Syafi`i juga menekuni bahasa dan sastra Arab di dusun badui bani Hudzail selama beberapa tahun, kemudian beliau kembali ke Mekkah dan belajar fiqh dari seorang ulama besar yang juga mufti kota Mekkah pada saat itu, yaitu Imam Muslim ibn Khalid Azzanji.
Kecerdasannya inilah yang membuat dirinya dalam usia yang sangat muda (15 tahun) telah duduk di kursi mufti kota Mekkah, namun demikian Imam Syafi`i belum merasa puas menuntut ilmu karena semakin dalam beliau menekuni suatu ilmu, semakin banyak yang belum beliau mengerti, sehingga tidak mengherankan bila guru Imam Syafi`i begitu banyak jumlahnya sama dengan banyaknya para muridnya.
Mushab bin Abdillah al-Zabĩrĩ berkomentar bahwa pada hakikatnya Imam Syafi'i sewaktu masih muda hanya tertarik dengan ilmu-ilmu syi'ir, puisi, sajak arab klasik, kemudian beliau terjun kedalam kancah ilmu pengetahuan lain dengan mempelajari al-Hadits dan Fiqih. Selanjutnya, setelah Imam Syafi'i hafal al-Qur'an, beliau mempelajari sastra Arab, lalu al-Hadits, kemudian Fiqh. Sedang ketertarikan beliau pada bidang Fiqh ini ialah lantaran pengikutnya yang saat mengikuti berjalan menuntut ilmu pengetahuan, sebab selama dalam perjalanan beliau selalu mengumandangkan syi'ir-syi'ir, sehingga diingatkan oleh pengikutnya dengan mengatakan bahwa "Waktu Muda itu jangan dihabiskan hanya untuk bersyi'ir, alangkah baiknya jika dimanfaatkan untuk mempelajari al-Hadits dan fiqh”. Dan saat umur 15 tahun beliau sudah menjadi Mufti Makkah setelah berguru kepada Muslim bin Khalid a1-Zanji, lalu ke Madinah dan berguru kepada Imam Malik bin Anas dan Sufyan bin 'Uyainah. Lantaran kecerdasannya kitab al-Muwattha' sudah dapat dihafalkan beliau selama 9 hari-sembilan malam.

B. Pendidikan dan Guru-Guru Imam Syafi`i
Tentang menuntut ilmu beliau mengatakan, “Menuntut ilmu lebih baik dari shalat sunnah”. Dan yang beliau dahulukan dalam belajar setelah hafal Al-Qur’an adalah membaca hadits. Beliau mengatakan, “Membaca hadits lebih baik dari pada shalat sunnah”. Karena itu, setelah hafal Al-Qur’an beliau belajar kitab hadits karya Imam Malik bin Anas kepada pengarangnya langsung pada usia yang masih belia.
1) Belajar di Mekkah
Di Mekkah, Imam Syafi`i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim ibn Khalid al-Zanji, sehingga ia mengizinkannya memberi fatwa ketika masih berusia 15 tahun. Oleh karena ia telah merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan syi`irnya. Imam Syafi`i belajar fiqih dari para ulama fiqih yang ada di Mekkah, seperti Muslim ibn khalid al-Zanji, yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti Mekkah.
Guru yang lainnya dalam fiqih ialah, Abdurrahman al-Attar ibn Abĩ Bakr al-Mulaiki, Sa`ĩd ibn Salĩm, Abdul Majid ibn Abdul Aziz ibn Abi Rawad.
Kemudian dia juga belajar dari Dawud ibn Abdurrahman al-Atthãr, juga belajar dari pamannya yang bernama Muhammad ibn Alĩ ibn Syãfi`, juga belajar dari Sufyãn ibn Uyainah.
2) Belajar di Madinah
Kemudian ia pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Mãlik ibn Anas. Ia mengaji kitab Muwattha’ langsung kepada mushannifnya (Imam Malik ibn Anas), dan menghafalnya dalam sembilan hari sembilan malam. Imam Syafi`i meriwayatkan hadits dari Sufyãn ibn Uyainah, Fudlail ibn Iyãdl dan pamannya, Muhammad ibn Syafi` dan lain-lain.
Imam Syafi`i menghapal dan memahami dengan cemerlang kitab karya Imam Malik, yaitu Al-Muwattha’. Kecerdasannya membuat Imam Malik sangat mengaguminya. Sementara itu Imam Syafi`i sendiri sangat mengagumi Imam Malik di Madinah dan Imam Sufyan ibn Uyainah di Mekkah.
Imam Syafi`i menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang terkenal berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik ibn Anas dan Sufyan ibn Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz”. Ia juga menyatakan lebih lanjut kekagumannya kepada Imam Malik: “Bila datang Imam Malik disuatu majelis, maka Malik menjadi bintang di majelis itu”. Ia juga sangat terkesan dengan kitab Al-Muwattha’-nya Imam Malik sehingga ia menyatakan: “Tidak ada kitab yang lebih bermanfaat setelah Al-Qur’an melebihi kitab Al-Muwattha’”. Ia juga menyatakan: “Aku tidak membaca Al-Muwattha’nya Imam Malik kecuali mesti bertambah pemahamanku”.
Dari berbagai pernyataannya di atas dapatlah diketahui bahwa guru yang paling ia kagumi adalah Imam Malik ibn Anas, kemudian Imam Sufyãn ibn Uyainah. Imam Syafi`i juga duduk menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama yang ada di Madinah, seperti Ibrahim ibn Sa`ad, Isma`il ibn Ja`far, Atthaf ibn Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi. Ia juga banyak menghafal ilmu di majelis Ibrahim ibn Abi Yahya. Tetapi sayang, gurunya yang terakhir ini dalam meriwayatkan hadits adalah pendusta, memiliki pandangan yang sama dengan madzhab Qadariyah yang menolak untuk beriman kepada taqdir dan berbagai kelemahan fatal lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini telah terkenal dengan gelar sebagai Imam Syafi`i, khususnya di akhir hayatnya, ia tidak mau lagi menyebut nama Ibrahim ibn Abi Yahya ini dalam berbagai periwayatan ilmu.
3) Di Baghdad, Irak
Pada tahun 183 dan tahun 195 H, Imam Syafi`i pergi ke Baghdad, di sana ia menimba ilmu dari Muhammad ibn Hasan. Ia memiliki tukar pikiran yang menjadikan Khalifah Al-Rasyid.
4) Di Mesir
Di Mesir Imam Syafi`i bertemu dengan murid Imam Malik yakni Muhammad ibn Abdillah ibn Abdil Hakim. Di Baghdad, Imam Syafi`i menulis madzhab lamanya (qaul qadim). Kemudian dia pindah ke Mesir tahun 200 H dan menuliskan madzhab baru (qaul jadid). Di sana dia wafat sebagai syuhada’ul ilm di akhir bulan Rajab 204 H.
C. Murid-Murid Imam Syafi`i
Adapun murid-murid Imam Syafi`i yang tersebar di berbagai negeri ialah:
1) Di Mekkah
Abû Bakar al-Humaidĩ, Ibrahĩm bin Muhammad al-`Abbãs, Abû Bakar Muhammad bin Idrĩs, Mûsã bin Abĩ al-Jarûd.
2) Di Bagdad
diantara murid-murid Imam Syafi`i yang ada di Bagdad adalah,
1) Abû Alĩ al-Hasan bin Muhammad al-Shabah al-Baghdadĩ al-Za`farãniy ( w. 260 H. ).
2) Husain bin Ali al-Karabishiy ( w. 240 H. ).
3) Ahmad bin Hanbal ( paendiri Madzab Hanbali, w. 240 H.
4) 4). Abu Thaur al-Kalabiy ( w. 240 H. ).
5) Ishak Rahawaih ( w. 277 H. ).
6) Al-Rabi` bin Sulaimãn al-Murãdiy (w. 270 H. yang ikut pindah beliau ke Mesir).
7) Abdullah bin Zubair al-Humaidiy (w. 219 H., yang juga ikut pindah baersarna beliau ke Mesir.
3) Di Mesir
Sedangakn yang ada di Mesir murid imam Syafi`i ialah:
1) Abu Ya'kub Yusuf bin Yahya al-Buwaithy (w.232 H. ).
2) Abu Ibrahim Isma'il bin Yahya al-Muzany (w.264 H.).
3) Al-Rabi' bin Sulaiman al-Jiziy ( 256 H. ).
4) Harmalah bin Yahya al-Tujibiy ( w. 243 H.)
5) Yusuf bin Abdul A'la ( w. 264 H. )126.
6) Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam (w. 268 H. )127, yang keluar dari madzab Syafi'i 128ke madzab Maliki sebagai madzab ayahnya.
al-Buwaiti, Ismail, Muzanni, Muhammad ibn ‘Abdullah ibn Abdu al-Hakam dan al-Rabi` ibn Sulaiman. Adapun ulama-ulama masyhur yang banyak meriwayatkan hadits-hadits Imam Syafi`i diantaranya: Ahmad bin Khalid al-Khallal, yaitu Abu Bakar Ja`far al-Bagdadiy. Ahmad bin Sinan bin As’ad bin Hibban al-Qatatan. Ahmad bin Salih al-Misri, laqabnya Abu Ja`far al–Tabari, al-Hafiz. Ahmad bin Hambal, penyusun kitab Musnad Ahmad bin Hambal dan pendiri madzhab Hambali. Ibrahim bin Khalid bin al-Yaman abu Sur al-Kalbiy al-Bagdadiy. Isma`il bin Yahya bin Isma’il dengan laqab al-A’immah al-Jalil Abu Ibrahim al-Muzanniy, ‘ulama’ besar yang banyak menyusun naskah dan fatwa Imām al-Syāfi’i dan juga mneyusun hadis beserta sanadnya. Bahr bin Nasr ibnu Sabiq al-Khuzaimiy yang memperdalam masalah ikhtilaf hadis dari Imām al-Syāfi’i. Al-Rabi’ bin Sulaiman al-Muradiy. Ia adalah murid utama Imām al-Syāfi’i di Mesir yang meriwayatkan kitab-kitabnya termasuk menyusun musnad Syafi`i, hadisnya banyak diriwayatkan oleh Abu Daud, al-Nasa’iy, Ibnu Majah, dan Abu Zur’ah. Harmalah bin Yahya bin ‘Abdullah, hadisnya banyak diriwayatkan oleh al-Nasa’i dan Ibnu Majah.
D. Karya-Karya Imam Syafi`i
Adapun kitaab-kitab yang ditulis atau didektikan imam Syafi'i sendiri kepada murid-muridnya maupun kitab-kitab yang dinisbatkan kepadanya itu tidak kurang 113 buah kitab, baik yang membahas tentang Tafsir, Fiqh, adab maupun lainnya, diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Kitab Al-Um, Kitab ini disusun oleh beliau secara sistematis dengan penyajian materi didalamnya yang argumentatif, sebagaimana yang diungkapkan oleh muridnya, Imam Rabi'ah bin Sulaiman“. Pembahasan dalam kitab ini, terdiri dari masalah-masalah yang berkaitan dengan ibadah, mu'amalah, pidana dan munakahat.
2) Kitab ”Al-Ri'salah”. Dalam kitab ini disusun oleh beliau secara sistematis, dimana didalamnya membahas tentang beberapa ketentuan yang ada di dalam dua nash, baik itu dalam al-Qur'an dan al-Hadits, masalah-masalah yang berkaitan dengan adanya Nasikh-Mansukh, bahkan kitab ini merupakan kitab pertama yang membahas tentang ushul fiqh.
3) Ikhtilaf al-Hadits. Menerangkan tentang berbagai macam hadits.
4) Ibthal al-Istihsan.
5) Ahkam al-Qur’an. Menerangkan tentang al-Qur’an.
6) Sifah al-Amri wa al-Nahyi.
7) Ikhtilaf al-Malik wa al-Syafi`i.
8) Ikhtilaf al-`Iraqiyyin.
9) Al-Sunan.
10) Al-Hujjah
Kitab Al-Hujjah ini bermula dari kejadian ketika imam Syafi`I masuk pada sebuah masjid di Bagdad untuk mengerjakan shalat maghrib beliau melihat ada seorang pemuda yang bacaan al-Qur’annya bagus sedang menjadi imam kemudian Imam Syafi`I shalat di belakangnya (menjadi makmum), kemudian imamnya (pemuda) tersebut lupa dalam shalatnya dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan, kemudian Imam Syafi`I berkata pada pemuda tersebut, “afsdta shalatana ya ghulam”, kamu telah menjadikan shalat kami batal wahai anak kecil.
Setelah kejadian ini Imam Syafi`I mengarang kitab  yang membahas masalah lupa disaat shalat, kitab tersebut menjadi kitab yang besar yang diberi nama “Za`faran”, nama tersebut adalah sandaran dari nama anak kecil yang menjadi imam shalat dan lupa dalam shalatnya tersebut, kemudian kitab ini diberi nama Al-Hujjah. Kitab ini merupakan salah satu kitabnya Imam Syafi`I yang dikarang di Irak.
E. Wafatnya Imam Syafi`I
Imam syafi`I tinggal di mesir selama lima tahun Sembilan bulan, 28 syawwal, tahun 198 hijriyah sampai tanggal 29 bulan rajab tahun 204 hijriyah, waktu-waktu itu beliau isi dengan mengajar dan mengarang kitab-kitab, hingga pada suatu saat Imam Syafi`I terkena penyakit pendarahan yang parah yang disebabkan oleh penyakit beser yang menyebabkan beliau tidak kuasa untuk bangun mengisi oengajian yang sudak beliau istiqamahi, kemudian ada dari salah satu santrinya yang menjenguk beliau, yaitu imam al-Muzni, yang kemudian menanyakan tentang keadaan Imam Syafi`I, beliau menjawab dengan kalimat sebagai berikut:
اصبحت و الله لا ادري, اروحي تساق الى الجنة فأهنئهاو ام الى النار فأعزيها ؟
Demi allah saya tidak tahu dengan keadaan saya, apakah ruh saya ditunjukkan ke surga sehingga patut untuk saya ucapi selamat, ataukah ke neraka sehingga patut untuk ditakziyahi ?

Setelah kejadian itu Imam Syafi`I berpesan kepada keluarganya dengan kalimat “jika aku sudah meninggal pergilah kalian mencari seorang wali untuk memandikan mayatku”. Pada malam jumat terakhir bulan rajab tahun 204 hijriyah tepatnya setelah waktu isya’ beliau menghembuskan nafas terakhir di pangkuan santrinya, al-Robi` al-Jaizy, kabar wafatnya beliau dengan cepat segera merata keseluruh mesir.
BAB III
1. Tinjauan Global Mengenai Saksi Talak
A. Pengertian Saksi
Arti kesaksian menurut bahasa merupakan terjemah dari bahasa arab yang berasal dari kata شَهِدَ يَشْهَدُ شَهَادَةً yang berarti berita yang pasti. Akan tetapi, berbicara soal saksi dalam kitab fiqh cenderung mendefinisikan dengan istilah kesaksian yang di ambil dari kata مُشَاهَدَةٌ yang artinya melihat dengan mata kepala, karena lafadz (orang yang menyaksikan)itu memberitahukan tentang apa  yang disaksikan dan dilihatnya. Maknanya ialah pemberitahuan seseorang tentang apa yang dia ketahui dengan lafadz “aku menyaksikan atau aku telah menyaksikannya”.
Saksi disebut juga dengan شَاهِدٌ (saksi lelaki) atau شَاهِدَةٌ (saksi perempuan) bentuk jamaknya adalah شُهَدَاءُ terambil dari kata مُشَاهَدَةٌ yang artinya adalah menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Jadi yang dimaksud saksi adalah manusia hidup. Alat bukti saksi, dalam hukum acara perdata Islam di kenal juga dengan sebutan اَلشَّهَادَةُ, dalam “Kamus Arab-Indonesia Terlengkap” karangan Ahmad  Warson Munawwir, kata اَلشَّهَادَةُ mempunyai arti sama dengan اَلْبَيِّنَةُ yang artinya Bukti.
B. Rukun Saksi
Adapun rukun Syahadat (saksi) menurut Imam al-Syafi’i adalah sebagai berikut:
1. Orang yang jadi saksi
2. Suatu perkara yang disaksikan
3. Orang yang akan diberi saksi (orang yang dibuktikan kebenarannya    atau kebohongannya dengan saksi)
4. Orang yang mempunyai saksi
5. Lafal saksi, seperti: “Aku bersaksi”
C. Syarat-Syarat Saksi
Dalam tahap pembuktian dengan alat bukti saksi, maka tidak semua orang dapat dijadikan seorang saksi. karena seperti halnya masalah  saksi dalam nikah, pembuktian dengan alat bukti saksi dalam hukum acara Islam juga ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh seseorang yang hendak menjadi saksi.
Untuk bisa menjadi saksi dibutuhkan beberapa kriteria atau syarat-syarat yang harus dipenuhi agar bisa diangkat menjadi saksi, syarat-syarat tersebut disebutkan dalam kitab Fath al-Qarib ialah sebagai berikut:
1) Islam, tidak diterima kesaksian orang kafir baik bagi orang muslim atau bagi sesama kafirnya.
2) Baligh, tidak diterima kesaksian anak kecil walaupun sudah pubertas.
3) Berakal, tidak diterima kesaksian orang yang sedang gila.
4) Merdeka, tidak diterima kesaksian seorang budak, baik budak murni, mudabbar atau mukatab.
5) Adil, dalam artian tidak pernah melakukan dosa-dosa besar, tidak melakuakan dosa kecil secara terus menerus, tidak rusak akidahnya, bisa menahan emosi dan menjaga harga diri (muru’ah).

D. Landasan Saksi Talak
1) Landasan Saksi Dalam al-Qur’an
Landasan adanya saksi ini disebutkan dalam al-Qur’an ialah frman Allah:
وَ اسْتَشْهِدُوْا شَهِيْدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ. اَلْاَيَةَ...
”...dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).”

Dan firman Allah:
وَ اَشْهِدُوْا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَ اَقِيْمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ. الاية...
“……Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan tegakkan kesaksian itu karena allah.
Para ulama berbeda pendapat tentang makna kesaksian dalam Surat ath-Thalaq ayat 2 ini. Menurut jumhur ulama yang dimaksud dengan kesaksian disini adalah kesaksian dalam rujuk. Tetapi mereka berbeda pendapat tentang hukumnya. Menurut Imam al-Syafi`i hukumnya adalah wajib, berbeda dengan pendapat sebagian besar ulama yang mengatakan bahwa hukumnya adalah Sunnah. Mereka berdalil dengan firman Allah, yang berbunyi:
وَ اَشْهِدُوْا اِذَا تَبَايَعْتُمْ. اَلْاَيَةَ...
…..“ Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli“.
Bentuk perintah disini menunjukkan kepada perintah sunnah, tidak menunjukkan kepada perintah wajib. Menurut sebagian ulama, makna kesaksian disini adalah kesaksian dalam masalah talak dan rujuk, sebagaiman disinyalir dalam ayat; dan kalimat perintah itu selalu menunjukkan makna wajib, selama tidak ada qarinah (tanda) yang menunjukkan kepada makna sunah. Kelompok ini berpendapat bahwa talak tidak sah kecuali dengan adanya kesaksian dua orang saksi yang adil dan berkumpul disaat penjatuhan talak.
2) Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Dalam skripsi ini, penulis akan memaparkan beberapa pasal dan ayat yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam yang berkaitan dengan saksi dalam talak. Putusnya perkawinan telah dijelaskan dalam BAB XVI, yang secara umum rumusannya dijelaskan dalam pasal 113:
Perkawinan dapat putus karena:
1. Kematian
2. Perceraian, dan
3. Atas putusan pengadilan
Dalam pasal 115 juga dijelaskan bahwa:
“Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.
 Kemudian dalam pasal 116 dijelaskan dengan gamblang tentang beberapa alasan yang menjadikan perceraian. Di antara beberapa poinnya adalah:
1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun. Atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri;
6) Antara suami-istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
7) Suami melanggar taklik-talak.
8) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.
Tidak ada sama sekali dari pasal-pasal di atas yang menjelaskan dengan ekplisit mengenai saksi dalam talak, hanya saja secara implisit saksi sangat dibutuhkan dalam permaslahan talak. Lihatlah dengan cermat bait demi bait dari pasal-pasal tersebut, hampir semua kasus atau sebab-sebab yang mengakibatkan terjadinya talak adalah perkara yang membutuhkan saksi dari beberapa orang saksi. Misalnya saja dalam poin pertama yang menjelaskan tentang salah satu pihak baik suami atau istri melakukan perbuatan zina atau mabuk-mabukan, hal ini tentunya merupakan perkara yang membutuhkan saksi dari beberapa orang saksi. Karena bagi siapa saja yang menjadi penuduh maka wajib baginya untuk mengajukan saksi untuk menguatkan tuduhannya. Begitu pula sebaliknya bagi yang tertuduh harus mengajukan saksi untuk menguatkan sanggahannya.
3) Pendapat Ulama
Ulama yang berpendapat bahwa saksi talak itu wajib ialah mengambil pengertian secara kontekstual dari firman allah yang berbunyi:
وَ اَشْهِدُوْا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَ اَقِيْمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ.
Menurut mereka, ayat tersebut adalah berlaku pada masalah talak dan juga ayat tersebut sudah jelas-jelas menunjukkan perintah sedangkan perintah itu wajib dilakukan selama tidak ada ayat lain yang mengalihkannya pada hukum yang lain, misalnya kepada sunnah, makruh atau yang lain, sedangkan pada ayat tersebut menurut mereka memang tidak ada ayat yang mengalihkannya pada hukum yang lain, maka dari itu, hukum mendatangkan saksi dalam hal menjatuhkan talak menurut mereka adalah wajib.

Dalam beberapa jenis perkara, masalah bilangan saksi para ulama masih berbeda pendapat, diantaranya adalah:
1. Dalam perkara zina atau tuduhan zina (qadzaf), saksinya adalah 4 (empat) orang laki-laki yang  beragama Islam.
اذا لم يتم الشهود اربعة حدوا حد القذف.
Jika penuduh zina tidak bisa mendatangkan empat saksi maka mereka semua di Had sebagaiamna Had dalam qadaf.

2. Tentang pendapat ini, hampir semua ulama  mengikutinya berdasarkan atas Al-Qur’an surat Al-Nisa’ ayat 15
وَاللَّاتِيْ يَأْتِيْنَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ فَإِنْ شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيْلًا.
Dan para perempuan yang melakukan perbuatan keji di antara perempuan-perempuan kamu, hendaklah terhadap mereka ada empat saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). Apabila mereka telah member kesaksian, maka kurunglah mereka (perempuan itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai allah memberi jalan (yang lain) kepadanya.

 كان الحكم في ابتداء الإسلام أنّ المرأة إذا زنت فثبت زناها بالبينة العادلة، حبست في بيت فلا تمكن من الخروج منه إلى أن تموت؛ ولهذا قال, وَاللَّاتِيْ يَأْتِيْنَ الْفَاحِشَةَ, يعني: الزنا, مِن نِّسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مّنكُمْ فَإِنْ شَهِدُوْا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيْلًا, فالسبيل الذي جعله الله هو الناسخ لذلك.
Hukum di awal islam, ketika ada orang perempuan berzina dan sudah ditetapkan dengan adanya bukti yang adil, maka orang perempuan tersebut ditahan di suatu rumah dan tidak diperbolehkan untuk keluar hingga dia menemui ajalnya. Itulah isi dari firman allah “Dan para perempuan yang melakukan perbuatan keji (zina), di antara perempuan-perempuan kamu, hendaklah terhadap mereka ada empat saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). Apabila mereka telah member kesaksian, maka kurunglah mereka (perempuan itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai allah memberi jalan (yang lain) kepadanya. Jalan yang dijadikan oleh allah SWT, itulah yang menghapus hukum tersebut.

قال ابن عباس: كان الحكم كذلك، حتى أنزل الله سورة النور فنسخها بالجلد، أو الرجم.
Imam ibn Abbas berkata “hukum diawal islam memang benar seperti itu hingga allah menurunkan surat al-Nur yang kemudian menghapus (nasikh) hukum tersebut dengan hukuman cambuk atau rajam.

3. Pembuktian dalam perkara had (hudud) selain zina, termasuk dalam masalah hudud qishas badan atau qishas jiwa, menurut Ibn Rusyd dalam kitabnya Bidayah al-Mujtahid, adalah dengan 2 (dua) orang saksi lelaki yang adil dan juga bisa menetapkan hukum qishas dengan adanya pengakuan dari orang merdeka (bukan budak).
و اتفقوا على ان السرقة تثبت بشاهدين عدلين و على انها تثبت بإقرار الحر.
Ulama fiqih sepakat bahwa hukum mencuri bisa ditetapkan dengan adanya dua saksi yang adil dan boleh menetapkan hukuman mencuri dengan adanya pengakuan dari orang merdeka (bukan budak).

4. Pembuktian dengan alat bukti saksi yang terdiri cukup hanya dengan seorang lelaki bersama 2 (dua) orang perempuan yang beragama Islam, yaitu dalam perkara harta benda, perkawinan, wasiat, hibah, waqaf, iddah, perwakilan, perdamaian, pengakuan, pembebasan, dan lain-lain yang pada umumnya bersifat hak.
Dalam kitab I`anah al-Thalibin dijelaskan bahwa saksi itu berbeda-beda bilangannya.
والنصاب في الشهود يختلف، ففي نحو الزنا أربعة، وفي الاموال والعقود رجلان، أو رجل وامرأتان، ولما يظهر للرجال غالبا كنكاح وطلاق وعتق رجلان.
Banyaknya saksi itu tidak sama, dalam hal zina saksinya ialah empat orang, dalam hal harta atau jual beli adalah dua orang laki-laki atau dua orang laki-laki dan satu wanita, dan untuk sesuatu yang dominannya dilakukan laki-laki  seperti nikah, talak dan memerdekakan saksinya ialah dua orang laki-laki.

(قوله: أربعة من الرجال) أي لقوله تعالى: (والذين يرمون المحصنات ثم لم يأتوا بأربعة شهداء فاجلدوهم ثمانين جلدة). ولان الزنا أقبح الفواحش، وإن كان القتل أغلظ منه على الاصح، فغلظت الشهادة فيه سترا من الله تعالى على عباده، واشتراط الاربعة فيهما إنما هو بالنسبة لاثبات الحد أو التعزير، أما بالنسبة لسقوط حصانته وعدالته ووقوع طلاق علق بزناه فيثبت برجلين.
Perkataan “empat orang dari laki-laki”. Itu berlandasan firman Allah SWT.

والذين يرمون المحصنات ثم لم يأتوا بأربعة شهداء فاجلدوهم ثمانين جلدة.
Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali .
Dan karena perbuatan zina merupakan paling buruknya pekerjaan jelek, meskipun pembunuhan lebih berat darinya menurut qaul yang lebih shahih, maka dari itu saksi untuk zina tersebut diberatkan untuk menutupi aib para hambanya. Disyaratkan empat orang saksi itu ialah untuk penetapan hukum had atau ta`zir, sedangkan kalau untuk gugurnya muhshan dan adil juga terjadinya yang digantungkan dengan zina maka cukup dengan adanya dua saksi orang laki-laki.

















  BAB IV
A. Pendapat Para Ulama Tentang Saksi Talak
Bila seseorang telah menceraikan istrinya, dibolehklan bahkan dianjurkan untuk rujuk dengan syarat bila keduanya betul-betul hendak berbaikan kembali (ishlah). Dalam artian, keduanya benar-benar mau saling mengerti dan bertanggung jawab. Akan tetapi, bila si suami mempergunakan kesempatan rujuk itu bukan untuk berbuat ishlah, melainkan untuk menganiaya dengan tidak memberi nafkah atau semata-mata untuk menahan istri agar tidak menikah dengan orang lain dan sebagainya, ia tidak berhak merujuk istrinya, bahkan haram hukumnya. Allah SWT, berfirman:
وَبُعُوْلَتُهُنَّ اَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِيْ ذَلِكَ اِنْ اَرَادُوْا اِصْلَاحًا. اَلْاَيَةَ...
 “…dan para suami mereka lebih berhak kembali kepada mereka dalam (masa) itu jika mereka (para suami) menghendaki perbaikan (ishlah).


Para ulama sepakat atas disyari`atkannya mendatangkan saksi dalam rujuk, begitu juga dalam masalah talak, namun mereka berbeda pendapat dalam masalah derajat disyari`atkannya tersebut, ini disebabkan oleh pemahaman mereka terhadap ayat al-Qur’an yang menerangkan tentang adanya saksi. Berikut ini akan kami paparkan beberapa pendapat para ulama tentang saksi talak dan penyebab perbedaan pendapat mereka tersebut.
اختلف العلماء في حكم الإشهاد على الطلاق على قولين هما:
القول الأول: استحباب الإشهاد على الطـلاق والندب إليه لا وجوبه، حتى إذا طلق ولم يشهد وقع طلاقه. وإليه ذهب الأئمة الأربعة أبو حنيفة, ومالك, والشافعي, وأحمـد. ثم الإشهاد على الفرقة مستحب لا واجب فكذلك على الرجعة.

Para ulama berselisih pendapat tentang hukum mengangkat saksi ketika talak terhadap dua pendapat:
Pendapat pertama mengatakan bahwa menyaksikan talak itu hukumnya adalah sunnah dan tidak wajib, karena dalam ayat perintah ishhad ala al-thalaq itu disamakan dengan ishhad ala al-bai` (tidak wajib mengangkat seorang saksi), sehingga jika ada seorang suami mentalak istrinya dan tidak mengangkat saksi untuk talak tersebut talaknya tetap sah. Pendapat ini dipilih oleh imam empat (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi`i dan Imam Ahmad).
Kemudian, mendatangkan saksi saat talak itu hukumnya adalah sunnah, bukan wajib, begitu juga dengan rujuk.

Imam Syafi`I dalam kitab al-Um nya menegaskan sebagai berikut:
ينبغى لمن راجع ان يشهد شاهدين عدلين على الرجعة لما أمر الله تعالى به من الشهادة.
Orang yang akan melakukan rujuk sebaiknya mendatangkan dua saksi yang adil untuk rujuknya, sebab allah telah memerintah untuk mendatangkan saksi saat rujuk.

Dalil yang mengatakan bahwa isyhad talak itu sunnah ialah:
1. Firman Allah SWT, yang berbunyi:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَآءَ فَطَلِّقُوْهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ.
Wahai Nabi! Apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).

 وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ أَوْ سَرّحُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ وَلَا تُمْسِكُوْهُنَّ ضِرَارًا لِّتَعْتَدُوْا.
Dan apabila kamu menceraikan istri-istri (kamu), lalu sampai (akhir) iddahnya, maka tahanlah mereka dengan cara yang baik, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang baik (pula). Dan janganlah kamu tahan mereka dengan maksud jahat untuk mendzalimi mereka.

Yang dijadikan argument dari ayat di atas bahwa menyaksikan talak itu tidak wajib ialah, dua ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah SWT, menjadikan talak sebagai kekuasaan yang dimiliki oleh suami sebagaimana telah menjadikannya sebagai hak bagi suami yang bisa dijatuhkannya kapan saja dia kehendaki.
Kapan saja suami ingin mentalak istrinya dia tidak harus mendatangkan saksi ataupun bukti, seandainya isyhad itu memang wajib maka pastilah dalam dua ayat di atas tersebut Allah menyebutkannya bersamaan dengan talak dan juga memerintahkannya, namun kenyataannya Allah tidak menyebutnya namun dia hanya memerintahkannya terhadap menahan istri atau mentalaknya karena untuk berhati-hati dan menghilangkan kecemburuan sosial, yaitu ketika terjadi talak sedangkan tidak ada saksi atau tidak diketahui talak atau pisah maka tidak menutup kemungkinan untuk terjadi perselisihan antara dua pihak.
2. Firman Allah SWT, yang berbunyi:
وَ اَشْهِدُوْا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَ اَقِيْمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ. ذَلِكُمْ يُوْعَظُ بِهِ مَن كَانَ يُؤْمِنُ باِللهِ وَالْيَوْمِ الْأَخِرِ وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا.
Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah pengajaran itu diberikan bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakakn jalan keluar baginya.

Ini oleh yang mengatakan bahwa isyhad talak itu sunnah mereka berargumen bahwa ayat di atas tersebut memiliki makna perintah yang berfaedah sunnah dan bukan pada perintah yang wajib dijalankan, sedangkan qarinah yang mengalihkannya dari hukum wajib terhadap sunnah ialah:
a) Pertama, disamakan (diqiaskan) dengan isyhad dengan perintah isyhad terhadap akad jual beli (bai`), sedangkan perihal isyhad terhadap akad jual beli ini para ulama sepakat terhadap kesunnahannya dan tidak wajib, begitu juga dengan isyhad ala al-thalak.
b) Tidak pernah ditemukan bahwa Nabi SAW, dan para sahabat menyaratkan adanya saksi untuk keabsahan talak.
c) Nash yang berisikan diperbolehkannya talak tidak ada yang di batasi dengan adanya saksi, seperti ayat:
فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ.
“…..maka tahanlah mereka dengan cara yang baik, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang baik (pula).
Dan juga firman Allah:
اَلطَّـلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوْفٍ أَوْ تَسْرِيْحٌ بِإِحْسَانٍ. الأية...
Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (setelah itu suami dapat) menahan dengan baik atau melepaskan dengan baik.
Dari dua ayat tersebut maka ayat yang berbunyi:
وَ اَشْهِدُوْا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ.
Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu.
Ini disamakan dengan makna perintah mempersaksikan akad jual beli, sebagaimana dalam firman Allah yang berbunyi:
وَأَشْهِدُواْ إِذَا تَبَايَعْتُمْ. الأية...
“…dan ambillah saksi apabila kamu berjual-beli.
Dalam artian, hukumnya sama-sama sunnah dan bukan mengarah pada wajib.
d) Dalam syari`at islam tidak ditemukan suatu akad yang dibutuhkan saksi untuk keabsahannya selain hanya satu akad, satu akad tersebut ialah nikah sebab kedudukan nikah tersebut sangatlah mulia dan agung sebab nikah itu ada hubungannya dengan harga diri dan martabat serta mempunyai peran yang sangat besar bagi kelanjutan hidup manusia, menjadikan haram dengan adanya ikatan mertua, menjadikan tetapnya adanya hak waris dan ketetapan nasab.
e) Sedangkan talak ini merupakan sesuatu yang oleh Nabi SAW, disifati sebagai sesuatu yang mempunyai hukum halal namun sangat dibenci oleh Allah SWT. Nabi berdabda:
أخرج أبو داود وابن ماجة والحاكم وصححه والبيهقي عن ابن عمر عن النبي صلى الله عليه و سلم قال " أبغض الحلال إلى الله عز و جل الطلاق.
Paling dibencinya perkara halal oleh Allah SWT, adalah talak.
Maka dari itu tidak dibutuhkan untuk menyiarkan hal tersebut (talak) terhadap orang lain yang hingga menjadikannya syarat terhadap keabsahannya.
Demikianlah kami paparkan hujjah atau alasan-alasan ulama yang berpendapat bahwa menyaksiakn talak itu tidak wajib namun hanya sunnah. Mamun, hal tersebut tidaklah disepakati oleh semua kalangan ulama, sebab masih banyak ulama yang mengatakan bahwa menyaksikan talak itu hukumnya adalah wajib dan mereka juga memiliki argument yang sangat kuat, sebagaimana yang akan kami paparkan di bawah ini.

القول الثاني: وجوب الإشهاد على الطلاق وممن ذهب إلى ذلك ابن عباس وعمران بن حصين ومن التابعين الإمام محمد الباقر، والإمام جعفر الصادق. وكذلك عطاء وابن جريج وابن سيرين وسعيد ابن المسيب رحمهم االله، ومن الفقهاء ذهب إلى هذا الرأي ابن حزم والشيعة الإمامية، ومن العلماءالمعاصريـن الدكتور محمد أبو زهرة ، والأستـاذ مصطفى الزرقا، والدكتور بدران أبو العينين والدكتور علي الخفيف.
Pendapat yang kedua ialah yang mewajibkan ishad al-talaq. Sebagian dari ulama yang memilih pendapat ini ialah: Imam ibn Abbas, Imron ibn Husain, sedangkan dari golongan sahabat ialah, Imam Muhammad al-Baqir, Imam Ja`far al-Shadiq, Imam Atha’, Ibn Juraij, Ibn Sirin dan, Sa`id ibn al-Musayyab. Sedangkan dari kalangan ahli fiqih yang juga berpendapat bahwa ishad al-talaq itu wajib ialah Imam ibn Hazm dan golongan syi`ah imamiyyah. Sedangkan ulama’ kontemporer yang berpendapat bahwa ishad al-talaq itu wajib ialah: Doktor Muhammad Abu Zahrah, Ustadz Musthafa Zarqa, Doktor Badran Abu Al-Ainain dan Doktor Ali Al-Khafif.

Agar lebih mudah difahami ta`bir di atas akan penulis paparkan dengan konsep seperti berikut:
Pendapat yang kedua ialah yang mewajibkan ishad al-talaq. Sebagian dari ulama yang memilih pendapat ini ialah:
1) Imam ibn Abbas
2) Imron ibn Husain
sedangkan dari golongan sahabat ialah:
1) Imam Muhammad al-Baqir
2) Imam Ja`far al-Shadiq
3) Imam Atha’
4) Ibn Juraij
5) Ibn Sirin dan
6) Sa`id ibn al-Musayyab.
Sedangkan dari kalangan ahli fiqih yang juga berpendapat bahwa ishad al-talaq itu wajib ialah, Imam ibn Hazm dan golongan syi`ah imamiyyah. Sedangkan ulama’ kontemporer yang berpendapat bahwa ishad al-talaq itu wajib ialah:
1) Doktor Muhammad Abu Zahrah
2) Ustadz Musthafa Zarqa
3) Doktor Badran Abu Al-Ainain dan
4) Doktor Ali Al-Khafif.
Dari pemaparan di atas dapat kita simpulkan bahwa mengenai hukum saksi talak itu ada dua pendapat, ialah  sebagai berikut:
1) Berpendapat bahwa hukum mendatangkan saksi talak itu adalah sunnah, sedangkan yang berpendapat demikian itu ialah:
a) Imam abu Hanifah
b) Imam Malik
c) Imam Syafi`i
d) Imam Ahmad
2) Berpendapat bahwa hukum mengadakan saksi talak itu adalah wajib, sedangkan yang berpendapat bahwa hukum mengangkat saksi talak itu wajib ialah:
a) Sebagian dari ulama yang memilih pendapat ini ialah:
1) imam ibn Abbas
2) Imron ibn Husain
b) Dari golongan sahabat ialah:
1) Imam Muhammad al-Baqir
2) Imam Ja`far al-Shadiq
3) Imam Atha’, ibn Juraij
4) Ibn Sirin
5) Sa`id ibn al-Musayyab.
c) Dari kalangan ahli fiqih yang juga berpendapat bahwa ishad al-talaq itu wajib ialah:
1) Imam ibn Hazm
2) Golongan Syi`ah Imamiyyah.
d) Dari golongan ulama’ kontemporer yang berpendapat bahwa ishad al-talaq itu wajib ialah:
1) Doktor Muhammad abu Zahrah
2) Ustadz Musthafa Zarqa
3) Doktor Badran abu al-Ainain
4) Doktor Ali al-Khafif.
Dalil yang mengatakan bahwa isyhad talak itu wajib ialah:

وَ اَشْهِدُوْا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَ اَقِيْمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ.
Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.

Ulama yang berpendapat bahwa mendatangkan saksi saat talak (al-isyhad ala al-talaq) itu tidak wajib ber-argumen bahwa:
1. Secara zhahir dari ayat tersebut memiliki tujuan yang sama, yaitu tertuju pada talak dan rujuk, sedangkan esensi yang secara hakiki dari suatu perintah itu adalah wajib dan tidak memiliki makna atau maksud dari selain wajib kecuali ada tanda (qarinah) yang memalingkan perintah tersebut dari sifat wajib terhadap hukum yang lain sedangkan untuk ayat ini tidak ditemukan sesuatu yang memalingkannya dari sifat wajib bahkan yang ada hanyalah pendukung atau penguat pada hukum wajib tersebut, sebab talak merupakan perbuatan yang ada pengecualiannya dari perbuatana-perbuatan yang lain yaitu hanya bisa dilakukan oleh kaum laki-laki, begitu juga dengan rujuk, jika talak dan rujuk tidak dipersaksikan dikhawatirkan nantinya akan terjadi perselisihan dan pengingkaran atas  talak atau rujuk tersebut.
Dari hal tersebut di atas dapat kita pahami bahwa menyaksikan talak atau rujuk merupakan salah satu cara untuk menghilangkan kemungkinan terjadinya persengketaan, perselisihan dan pengingkaran dikemudian hari. Maka dari itu, barang siapa yang melakukan talak atau rujuk dan menyaksiaknnya maka ia telah melaksanakan hak dan kewajiban talak atau rujuk tersebut, dan barang siapa yang tidak mempersaksikan talak atau rujuknya maka orang tersebut telah melampaui batas dan ketentuan yang telah Allah SWT, tetapkan, dan hal itu berdampak pada kebatalan dan ketidak sah-an pada apa yang telah ia lakukan yang dalam hal ini adalah talak atau rujuk.
2. Pendapat yang mengatakan bahwa menyaksikan talak itu wajib sudah tentu diriwatkan dari kebanyakan shabat dan tabi`in, seperti Sayyidina Ali ibn Abi Thalib karramallahu wajhahu, Imran ibn Hashin, ibn Abbas dan Imam Atha`. Mereka tidak akan berpendapat kecuali mereka telah mendengar tentang hukum tersebut, maka dari itu penetapan hukum wajibnya menyaksikan talak itu sama halnya dengan marfu` (ketentuan Nabi Muhammad SAW).
3. Dalam hal saksi Allah SWT, tidak membeda-bedakan antara rujuk dan talak, maka dari itu tidak boleh membeda-bedakan hukum antara dua hal tersebut, maka barang siapa yang melakukan talak namun tidak mendatangkan saksi maka orang tersebut telah melampaui batasan yang telah Allah SWT, tetapkan.
4. اَلْأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَHukum asal dari pernikahan adalah tetapnya adanya akad atau hubungan suami istri, sehingga untuk terjadinya talak yang dapat menghilangkan ikatan tersebut dibutuhkan adanya saksi (menyaksikan talaknya).
5. Pendapat yang mengatakan bahwa menyaksikan talak itu hukumnya adalah wajib ini salah satu manfaatnya ialah dapat menjadikan yang diberikan saksi tertekan untuk melakukan talak. Hal ini sesuai dengan dengan status talak yang merupakan perkara halal yang paling dibenci Allah SWT, (abghadu al-halal ila Allah).
6. Pendapat yang mewajibkan menyaksiakn talak ini mempunyai suatu alasan yang sangat logis sebab bisa menjadikan hidup lebih harmoni karena dapat menghalangi terjadinya perselisihan antara dua belah pihak suami istri sebab bagi para saksi yang adil dan mempunyai kedudukan yang tinggi itu pasti mempunyai efek terhadap yang akan diberi persaksian sehingga diharapkan bagi seseorang agar tidak mudah menjatuhkan talak.
7. Demi mendapatkan tujuan yang tersirat dalam agama islam yakni menebarkan ketentraman bagi semua manusia dan tidak mentalak dengan mudah semudah membalikkan telapak tangan, Dan juga dapat menjadikan gampang jika dikemudian hari ada perselisihan terhadap suami istri yang telah melakukan talak tersebut.
8. Hadirnya kedua saksi ini diharapkan dapat membujuk suami istri agar berbaikan kembali dan tidak melakukan talak.
9. Bisa membantu pihak perempuan (istri), yaitu ketika si suami mempunyai hutang terhadap istrinya dan diketahui oleh orang lain, ketika si istri tidak mampu untuk menagih hutang tersebut kepada suami yang akan mentalaknya maka saksi tersebut bisa membantu istri untuk menetapkan hutang suaminya itu.
10. Mewajibkan menyaksikan talak ini lebih terlihat manfaatnya dan kemaslahatannya, lebih-lebih bagi yang hidup dijaman yang sudah modern seperti sekarang ini.

Bantahan Bagi Ulama Yang Berpendapat Wajib Mempersaksikan Talak:
1. Tidak ditemukan bahwa Nabi Muhammad pernah mempersaksikan talak (al-isyhad ala al-talak), oleh sebab itu, jika ada orang yang melakukan talak dan tidak mempersaksikannya maka tidak terhitung menyalahi sunnah.
2. Seandainya memang ada riwayat bahwa para sahabat mempersaksikan talaknya itupun tidak bisa dijadikan landasan wajibnya saksi talak sebab Imam empat tidak ada yang mewajibkan menyaksikan talak (isyhad talak).
3. Bagi ulama’ yang berpendapat wajib menyaksikan talak ia berlandasan (berhujjah) pada hukum yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dalam kitab Sunan-nya bahwa Imam Imran ibn Hashin dipintai pendapat tentang seorang suami yang mentalak dan merujuk istrinya namun ia tidak mendatangkan saksi untuk hal tersebut kemudian Imam Imran ibn Hashin menjawab “kamu telah melakukan apa yang tidak dilakukan Nabi SAW, maka janganlah kau ulangi lagi”, hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan hukum (hujjah) disebabkan kelemahannya dari berbagai faktor:
a) Bahwa perkataan Imam Imran ibn Hashin yaitu “kamu telah melakukan apa yang tidak dilakukan Nabi SAW” ini merupakan lafadz yang umum (mujmal), sedangkan lafadz mujmal itu mempunyai beberapa makna dan tidak ada kekhususan di antara makna-makna tersebut, maka yang dimaksud dengan “yang dialkukan Nabi SAW,” itu bisa jadi adalah hal yang sunnah atau wajib, dua hal tersebut bisa dikategorikan sunnah, sebab yang dinamakan dengan sunnah ialah sesuatu yang diterima dari Nabi Muhammad SAW, baik dari perbuatan yang mubah, wajib maupun yang sunnah.
b) Imran ibn Hashin tidak berkata “talakmu batal”, seandainya talak tersebut ia katakan batal tidak mungkin dia tidak menerangkan hal tersebut padahal dia adalah seorang perawi hadits, sedangkan para perawi hadits itu semuanya bisa dipercaya dan semua para sahabat itu adil, seandainya talak yang tidak dipersaksikan itu rusak (tidak sah) maka beliau pastilah memberitahukan atau mengatakan hal tersebut.
c) Mempersaksikan talak itu adakalnya ketika melafdzkan kata talak atau sesudahnya, jika dilakukan disaat melafadzkan kata talak maka ketika kita mengikuti pendapat yang mewajibkan saksi talak maka tidak akan ada yang bisa menjatuhkan talaknya sebab sangat sulit ditemukan saksi yang adil ketika terjadinya sengketa rumah tangga, maka bagaimana bisa Nabi SAW juga sebagian besar ualama (jumhur al-ulama), tidak menjelaskan hal tersebut dengan lafadz yang jelas (sharih) yang dapat dimengerti oleh semua kalangan masyarakat bahwa mempersaksikan talak itu adalah wajib.
Ulama salaf juga tidak mempermasalahkna talak yang tidak dipersaksikan, maka, apakah hukum wajib menyaksikan talak itu tidak jelas bagi mereka (kalau memang wajib) apakah mereka bodoh akan hal tersebut namun mereka tidak mencari tahu. Hal itu tidak akan mungkin terjadi, sebab ulama salaf yang wara` itu sangat berhati-hati dalam mengambil hukum dan tidak akan melakukannya kecuali sudah tau betul hukumnya.
d) Jika dalam nikah diwajibkan adanya saksi nikah itu adalah hal yang wajar, sebab apa yang diharuskan adanya wali maka juga diharuskan juga adanya saksi.
مَا لَا يُشْتَرَطُ فِيْهِ الْوَلِيُّ لَا يُشْتَرَطُ فِيْهِ الْإِشْهَادٌ.
Sesuatu yang tidak diwajibkan adanya wali juga tidak diwajibkan adanya saksi.

Bantahan Bagi Ulama Yang Berpendapat Sunnah Mempersaksikan Talak:
1. Dalam ayat yang menjelaskan kewajiban saksi talak itu diberi peringatan dengan kata-kata “beriman kepada Allah dan hari akhir”, perhatikan ayat berikut:
وَ اَشْهِدُوْا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَ اَقِيْمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ. ذَلِكُمْ يُوْعَظُ بِهِ مَن كَانَ يُؤْمِنُ باِللهِ وَالْيَوْمِ الْأَخِرِ وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا
Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah pengajaran itu diberikan bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakakn jalan keluar baginya.

Seakan-akan ayat di atas adalah sebuah ancaman bagi yang tidak mempersaksikan talaknya, hal itu sangat mendukung pada kewajiban mempersaksikan talak, sebab yang diharapkan dengan adanya saksi talak itu ialah diharapkannya dapat meredakan bahklan menyelesaikan persengketaan yang terjadi antara suami istri yang akan melakukan talak sehingga bagi keduanya tersebut ada jalan keluar dari talak yang merupakan perkara halal namun paling dibenci oleh Allah tersebut, selain dari itu juga ada makna atau rahasia yang tersirat dalam hal diwajibkannya saksi talak itu sebagai mana yang telah disebutkan di atas.
2. Ada banyak hal yang ditimbulkan dari terjadinya talak, di antaranya ialah:
a. Hilangnya tali status suami istri yang menjadikan keduanya bersatu.
b. Penghitungan banyaknya talak yaitu untuk mengetahui apakah masih diperbolehkannya rujuk atau sudah haramnya melakukan rujuk.
c. Wajibnya iddah sejak terjadinya talak bagi perempuan yang ditalak.
d. Perhitungan iddah untuk mengetahui kapan suami bisa melakukan rujuk dan kapan terakhir batas waktu suami bisa melakukan rujuk jika talaknya berupa talak yang diperbolehkan melakukan rujuk (raj`i).
e. Hak-hak yang patut diterima oleh wanita yang tertalak (muthallaqah).
Oleh adanya sebab-sebab tersebut maka diperlukan adanya saksi talak yaitu dua orang saksi yang adil yang dalam hal ini khususnya di Negara Indonesia memang sudah ada orang yang ditugaskan untuk dijadikan saksi (hakim) yang nantinya akan mengurus untuk kejelasan talak dan apa-apa yang berhubungan dengannya, yaitu demi kemaslahatan yang bisa ditimbulkan dari adanya saksi itu sendiri ketika nantinya ada perselisihan tentang masa iddah dan lain-lain, sehingga dapat diatasi dengan mudah.









B. Pendapat Imam ibn Hazm dan Imam Syafi`i mengenai kedudukan saksi talak.
1. Pendapat Imam Syafi`i
Imam al-Syafi`i dalam karya monomentalnya, Al-Um, menyitir firman Allah:
وَ اَشْهِدُوْا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَ اَقِيْمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ.
Dan persaksikanlah dua orang yang adil dari kalian dan dirikanlah saksi karena Allah.

 Terhadap hukum selain wajib. Perhatikan perkataan Imam Syafi`i yang menerangkan tentang saksi talak.
Imam Syafi`I dalam kitab al-Um nya menegaskan sebagai berikut:
ينبغى لمن راجع ان يشهد شاهدين عدلين على الرجعة لما أمر الله تعالى به من الشهادة.
Orang yang akan melakukan rujuk sebaiknya mendatangkan dua saksi yang adil untuk rujuknya, sebab allah telah memerintah untuk mendatangkan saksi saat rujuk.

(قال الشافعي) رحمه الله تعالى: فأمر الله عز وجل في الطلاق والرجعة بالشهادة وسمى فيها عدد الشهادة فانتهى إلى شاهدين, فدل ذلك على أن كمال الشهادة على الطلاق والرجعة شاهدان فإذا كان ذلك كمالها لم يجز فيها شهادة أقل من شاهدين لان ما كان دون الكمال مما يؤخذ به الحق لبعض الناس من بعض فهو غير ما أمر بالاخذ به ولا يجوز أن يؤخذ بغير ما أمرنا بالاخذ به.

Imam Syafi`i berkata, Allah SWT, memerintahkan adanya saksi dalam talak dan rujuk, Allah juga menyebutukan bilangan saksi tersebut yaitu adanya harus ada dua saksi. Itu menunjukkan bahwa saksi yang sempurna untuk talak dan rujuk ialah dua saksi. Jika dua itu adalah sempurnanya saksi maka tidak boleh mendatangkan saksi kurang dari dua orang sebab jika tidak dengan hitungan yang sempurna dari apa yang dapat diambil kebenaran terhadap manusia berarti itu bukanlah hal yang diperintahkan sedangkan kita tidak diperbolehkan untuk melakukan yang tidak diperintahkan.

فاحتمل أمر الله عز وجل بالاشهاد في الطلاق والرجعة ما احتمل أمره بالاشهاد في البيوع ودل ما وصفت من أنى لم ألق مخالفا حفظت عنه من أهل العلم أن حراما أن يطلق بغير بينة على أنه والله تعالى أعلم دلالة أختيار لا فرض يعصى به من تركه ويكون عليه أداؤه إن فات في موضعه.

Maka, perintah Allah SWT, agar mempersaksikan talak dalam talak dan rujuk itu bisa jadi sama dengan masalah saksi dalam akad jual beli. Bukti kebenaran dari pendapat saya (iamam Syafi`i) ialah saya tidak menemukan orang yang membantah hal tersebut (penyamaan dengan saksi buyu`) dari ahli ilmu bahwa hukumnya haram ketika orang mentalak istrinya tanpa mendatangkan bukti sebab mendatangkan saksi itu hanya dibolehkan dan bukan wajib yang menyebabkan dosa ketika ditinggalkan sehingga harus dilakukan.kapan saja talak itu terjadi.

Imam Syafi`i menjelaskan bahwa penyebutan saksi talak dan rujuk dalam ayat tesebut disamakan dengan mendatangkan saksi saat melakukan akad jual beli, beliau berkata bahwa dalam hal jual beli tidak ada kewajiban mendatangkan saksi, dan dalam hal ini tidak ada ulama yang menentangnya, begitu juga dalam hal mendatangkan saksi talak.
2. Pendapat Imam Ibn Hazm
Imam Ibn Hazm dalam kitabnya, Al-Muhalla bi al-Atsar, menegaskan sebagai berikut:

قال ابو محمد فإن وطئها لم يكن بذلك مراجعا لها حتى يلفظ بالرجعة ويشهد ويعلمها بذلك قبل تمام عدتها فإن راجع ولم يشهد فليس مراجعا, لقول الله تعالى: فإذا بلغن أجلهن فأمسكوهن بمعروف أو فارقوهن بمعروف وأشهدوا ذوى عدل منكم و اقيموا الشهادة لله, فرق عز وجل  بين المراجعة والطلاق و الإشهاد، فلا يجوز إفراد بعض ذلك عن بعض، وكان من طلق ولم يشهد ذوي عدل، أو راجع ولم يشهد ذوي عدل متعديا لحدود االله.
Abu Muhammad berkata, jika seorang suami menyetubuhi istrinya (yang sudah ditalak) itu bukan termasuk rujuk hingga dia mengucapkan kata rujuk, menyaksikannya dan memberitahukan hal tersebut terhadap istrinya sebelum habis masa iddahnya, jika suami tersebut merujuk namun tidak menyaksikannya maka tidak dihitung rujuk, karena berlandasan firman Allah, “maka apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujuklah (kembali kepada) mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.
Allah SWT, memisah antara rujuk , talak dan isyhad maka tidak boleh member hukum masing-masing pada semua hal tersebut, dan orang yang mentalak istrinya namun tidak mendatangkan dua saksi yang adil, atau melakukan rujuk namun tidak mendatangkan dua saksi yang adil maka orang tersebut sudah melewati batasan-batasan yang telah ditentukan oleh allah (tidak ikut hukum allah).

Imam ibn Hazm sebagaimana telah mewajibkan adanya saksi saat talak juga mewajibkan adanya saksi dalam hal jual beli:
و فرض على كل متبايعين لما قل او كثر ان يشهدا على تبايعهما رجلين او رجلا و امرأتين. فإن لم يشهدا و هما يقدران على الإشهاد فقد عصيا الله عز و جل.
Wajib atas dua orang yang sedang melakukan transaksi jual beli baik terhadap sesuatu yang sedikit atau banyak untuk mempersaksikannya terhadap dua orang laki-laki atau satu orang laki-laki dan dua orang perempua. Jika keduanya tidak mempersaksikan transaksi jual belinya tersebut padahal mereka mampu melakukannya maka mereka telah bermaksiat kepada Allah Azza Wa Jalla.

Dari referensi di atas dapat kita simpulkan bahwa imam ibn Hazm mengambil hukum sesuai dengan kontekstualnya, berbeda dengan Imam Syafi`i, dalam mengambil keputusan hukum beliau terlebih dahulu mengumpulkan beberapa data yang berkenaan dengan hal tersebut, kemudian beliau kaji dengan seksama (elaborasi) dengan teliti dan baru beliau simpulkan hukumnya.
Analisis Data
1. Tinjauan Maslahah Mursalah Saksi Talak
Secara  etimologi,  kata المصلحة   jamaknya adalah  المصالح  yang berarti sesuatu yang baik, yang merupakan lawan dari keburukan atau kerusakan, sedangkan dalam istilah arab (terminologi) sering pula disebut dengan الخير و الصواب yaitu yang baik dan benar.
Al-Mursalah المرسلة adalah isim maf’ul (objek) dari fi’li madhi (kata dasar) dalam bentuk sulasi (kata dasar yang tiga huruf) yaitu رسل dengan  penambahan alif dipangkalnya sehingga menjadi ارسل secara bahasa artinya “terlepas” atau dalam arti مطلقة yang artinya bebas.
المصلحة التي لم يشرع حكما لتحقيقها و لم يدل دليل شرعي على اعتباره و الغائها
Mashlahah mursalah yaitu mashlahah yang ketentuan hukumnya tidak digariskan oleh tuhan dan tidak ada dalil syara` yang menunjukkan tentang kebolehan dan tidaknya Mashlahah tersebut.

Al-Qur’an memutivasi terhadap para suami agar bisa bersabar dalam menghadapi ketidak nyamanan yang timbul dari seorang istri sebab ketidak nyamanan tersebut bisa jadi bukanlah merupakan murni sifat istri namun bisa jadi hal tersebut ditimbulkan dari kesalahan seorang suami.
Allah SWT, berfirman:
فَإِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسَى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْئًا وَ يَجْعَلَ اللهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا.
Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.

Mashlahah yang ditimbulkan dari adanya saksi talak antara lain ialah:
Sebagai mana yang telah disinggung di atas bahwa banyak sekali manfaat dari menyaksikan talak, sebab saksi talak yang dimaksud di atas adalah seorang Hakim yang menyaksikan ketika suami menjatuhkan atau mengikrarkan talaknya di depan Hakim Pengadilan Agama tersebut, itu khususnya di Indonesia akan ada catatan lengkapnya mengenai talaknya tersebut.
Setelah sidang penyaksian ikrar talak yang dilakukan di Pengadilan Agama, Hakim Pengadilan Agama membuat penetapan tentang terjadinya talak, rangkap empat yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami dan istri.  Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada suami istri dan helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama.  Ini bisa diambil kesimpulan bahwa manfaat yang diahsilkan dari diwajibkannya saksi talak adalah sebagai berikut:
1) Bisa mengetahui dan menetapkan dengan jelas penghitungan banyaknya talak yang berfungsi untuk mengetahui masa apakah masih diperbolehkan rujuk atau sudah haram melakukan rujuk.
2) Menentukan mulai wajibnya iddah sejak terjadinya talak bagi perempuan yang ditalak.
3) Perhitungan iddah untuk mengetahui kapan suami bisa melakukan rujuk dan kapan terakhir batas waktu suami bisa melakukan rujuk jika talaknya berupa talak yang diperbolehkan melakukan rujuk (raj`i).
4) Membantu menetapkan hak-hak yang patut diterima oleh wanita yang tertalak (muthallaqah).
5) Bisa tercapai dan mendapatkan tujuan yang tersirat dalam agama islam yakni menebarkan ketentraman bagi semua manusia dan tidak mentalak dengan mudah semudah membalikkan telapak tangan, Dan juga dapat menjadikan gampang jika dikemudian hari ada perselisihan terhadap suami istri yang telah melakukan talak tersebut.
6) Hadirnya kedua saksi ini diharapkan dapat membujuk suami istri agar berbaikan kembali dan tidak melakukan talak.
7) Bisa membantu pihak perempuan (istri), yaitu ketika si suami mempunyai hutang terhadap istrinya dan diketahui oleh orang lain, ketika si istri tidak mampu untuk menagih hutang tersebut kepada suami yang akan mentalaknya maka saksi tersebut bisa membantu istri untuk menetapkan hutang suaminya itu.
Dari penjelasan di atas dapat penulis ambil kesimpulan bahwa pendapat yang kuat (rãjih) ialah pendapat yang mengatakan bahwa hukum mempersaksikan talak adalah wajib. Lebih-lebih dimasa sekarang ini yang mana persengketaan sangat sering terjadi, tidak me-nafi-kan dalam masalah perceraian. Selain itu, ayat yang ada di dalam al-Qur’an secara jelas memang menunjukkan arti perintah sehingga yang mudah difahami adalah wajib untuk dilaksanakan.
Jika kita pernah menyaksikan proses perceraian di pengadilan agama kita akan tau dan sadar akan fungsi dan manfaat adanya saksi talak, sebab di sana kita akan menyaksikan berbagai peran positif yang dilakukan oleh saksi tersebut, semisal membujuk suami dan istri yang mau bercerai agar mengurungkan dan tidak melangsungkan perceraiannya tersebut, ini sangat sejalan dan sesuai dengan apa yang tersirat dalam ayat al-Qur’an yang memotivasi para suami agar tidak dengan gampang mentalak istrinya yang sudah tidak dia sukai dan sebisa mungkin dia tetap mempertahankannya. Oleh sebab itu, penulis lebih condong dan setuju terhadap pendapat yang mewajibkan adanya saksi talak (mempersaksikan talak/mencatatkan talaknya di pengadilan agama) ini karena saya melihat dari efek positif yang ada pada diwajibkannya hal tersebut.
  Perlu kita ketahui bahwa Negara Indonesia mewajibkan untuk mencatatkan talak ini karena melihat dan menimbang terhadap kebaikan-kebaikan yang dihasilkan dari diharuskannya pencatatan tersebut, dan kita tidak perlu lagi bingung terhadap ketentuan tersebut, sebab sebagaimana yang telah kami uraikan di atas, para ulama ternyata banyak yang mewajibkan mempersaksikan talak demi ke-mashlahatan yang ditimbulkannya.




BAB V
PENUTUP

1. KESIMPULAN
Dari semua yang telah penulis paparkan di atas dapat diambil ringkasan sebagai berikut:
1. Allah SWT, memerintahkan agar mempersaksikan talak.
2. Para ulama sepakat atas disyari`atkannya saksi talak namun derajat disyari`atkannya masih diperdebatkan.
3. Meskipun para ulama membahas masalah saksi talak tidak dengan Bab tertentu namun mereka saling menyinggung dalam bentuk argument yang ringkas tatkala mereka membahas tentang masalah rujuk dan mempersaksikannya dan semua ulama sepakat bahwa hukum mempersaksikan talak adalah disyari`atkan.
4. Para ulama berbeda pendapat masalah derajat disyari`atkannya saksi talak, apakah hal itu diwajibkan sebagaimana yang dikemukakan para sahabat, tabi`in, para ahli tafsir, Imam ibn Hazm, Syi`ah Imamiyah dan sebagian besar ulama kontemporer. ataukah hanya disunnahkan, sebagaimana yang diutarakan oleh sebagian besar ulama.
5. Imam ibn Hazm dan Imam Syafi`I berbeda pendapat tentang hukum saksi talak.
6. Pendapat yang mengatakan bahwa hukum mempersaksikan talak adalah wajib itu sesuai dengan maqashid syari`ah, yaitu untuk menjaga hubungan kekeluargaan orang-orang muslim yaitu menghindari dari seringnya terjadi talak yang bisa menyebabkan anak-anak menjadi terlantar (tunawisma).
7. Pendapat yang mengatakan bahwa hukum mempersaksikan talak adalah wajib itu dikuatkan oleh pendapatnya para ahli tafsir lebih-lebih dari berbagai riwayat yag datang dari para sahabat dan tabi`in.
8. Seandainya tidak ada dalil dari Al-Qur’an dan Hadits maka cukuplah sebagai alasan bagi kita atas diwajibkannya saksi talak dari banyaknya kebaikan-kebaikan yang ditimbulkan dari mempersaksikan talak tersebut.
9. Adanya upaya tertib hukum dan administrasi, seperti mencatatkan talak danlain-lain di ndonesia ini merupakan suatu keharusan demi ketertiban dan kenyamanan bersama.

2. SARAN
Dalam hal ini penulis ingin memberikan kontribusi berupa saran, dengan harapan jika dapat dilaksanakan bisa menambah pengetahuan, baik bagi penegak keadilan ataupun masyarakat umum. Berikut ini adalah saran yang ingin kami ajukan:
1. Bagi para penegak hukum, alangkah lebih baiknya untuk memberi penjelasan hukum dan sumber pengambilan hukum tersebut terhadap para hadirin yang hadir dipersidangan, dengan tujuan bisa memberi pemahaman dan tidak menimbulkan pertanyaan (unek-unek) pada pikiran hadirin.
2. Bagi masyarakat seharusnya tidak menyia-nyiakan keberadaan Pengadilan Agama akan tetapi memfungsikan dengan baik sebagai sarana yang dicanangkan oleh Negara Indonesia, sebab itu diadakan demi kemaslahatan umat.
3. Bagi para suami, hendaknya bisa bersabar dan tidak terburu-buru untuk mentalak istrinya sebab bisa jadi ketidak nyamanan sifat seorang istri itu timbul karena ulah suami.
4. Bagi bapak mediataor mungkin alangkah baiknya meminta orang yang akan dimediasi untuk mengambil wudlu’ terlebih dahulu sebelum dimediasi, sebab orang yang akan dimediasi itu kebanyakan dalam keadaan yang sedang marah, maka dari itu wudlu’ tersebut diharapkan bisa meredakan kemarahan tersebut sehingga orang yang dimediasi bisa menerima mau`idlah dari bapak mediator tersebut dengan lapang dada dan tidak meneruskan talaknya.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.