SKRIPSI RUSPANDI AMD BAB II

SKRIPSI RUSPANDI AMD BAB II


BAB II


BIOGRAFI IMAM IBN HAZM DAN IMAM SYAFI`I

IMAM SYAFI`I

IMAM SYAFI`I


1. Biografi Imam Ibn Hazm
A. Nasab Imam Ibn Hazm
Nama asli Imam Ibn Hazm ialah Abu Muhammad Ali ibn Ahmad ibn Sa`id ibn Hazm azh-Zhahirĩ ibn Ghãlib ibn Shãlih ibn Khalãf ibn Sa`dan ibn Sufyãn ibn Yazĩd (budak Yazĩd ibn Abi Sufyãn ibn Harb al-Umawiyyah R.A ) yang dikenal dengan al-Khairĩ. Ibn Hazm biasa dipanggil dengan Abu Muhammad dan terkenal dengan sebutan Ibn Hazm. 
Versi lain ada yang mengatakan bahwa nama lengkap Imam Ibn Hazm adalah, Alĩ Ibn Ahmad Ibn Sa`ad Ibn Hazm Ibn Ghãlib Ibn Shãlih Ibn Khalãf Ibn Ma`dan Ibn Sufyãn, nama julukan (kunyah)nya adalah “Abu Muhammad”. Ia dilahirkan pada hari rabu tanggal 7 November 994 M, bertepatan dengan hari akhir bulan Ramadlãn 384 H, yaitu pada waktu sesudah terbit fajar sebelum munculnya matahari pagi `Idul Fitri di Cordoba, Spanyol. 
Banyak ulama klasik dan kontemporer memakai nama singkatnya dengan sebutan Ibn Hazm dan terkadang dihubungkan dengan panggilan al-Qurthubĩ atau al-Andalusĩ yang di-nisbatkan pada tempat kelahirannya, Cordova dan Andalus. Kadang Ia dikenal dengan sebutan al-Dzãhirĩ sehubungan dengan aliran fiqh dan pola fikir al-Dzãhirĩ yang dianutnya. Kakek Ibn Hazm beserta keluarga Bani Umayyah pindah ke Andalusia, sementara keluarga Bani Hazm tinggal di Manta Lisyam, kota kecil yang menjadi pemukiman orang Arab di Andalusia. Di sana mereka hidup dengan kemewahan dan kedudukan terhormat. Oleh karena itu Ibn Hazm dan keluarganya memihak pada Bani Umayyah.
Ayah Ibn Hazm atau Ahmad Ibn Sa`id berpendidikan cukup tinggi, ia menjadi pejabat di lingkungan kerajaan Khalĩfah Abu Amir Muhammad Ibn Abĩ `Ãmir (Al-Manshûr) dan kemudian menjadi wazĩr (mentri).  Ia tinggal bersama keluarganya di Muniyyat al-Mughĩrat, pemukiman pejabat istana di bagian Timur Cordova dekat istana al-Zahirat, pusat kerajaan al-Manshûr. Ia juga sempat menjabat wazĩr dimasa pemerintahan al-Mudzaffar yang wafat pada tahun 402 H3.
B. Pendidikan Imam Ibn Hazm
Pada masa kecilnya, Ibn Hazm diasuh oleh wanita-wanita istana. Ia dibimbing dan diasuh oleh guru-guru wanita yang mengajarkannya membaca dan menghafal al-Qur’an, syi`ir dan melatihnya menulis. Di saat usianya menginjak remaja, ia diajak oleh ayahnya menghadiri majlis-majlis ilmiah dan budaya yang sering diadakan oleh khalifah al-Manshûr dan dihadiri pula oleh ahli-ahli syi`ir dan ilmuwan. Ia juga belajar kepada seorang guru yang alim dan wara` yaitu Abu al-Husain Ibn Alĩ al-Farisi.
Ibn Hazm selalu disamping guru pilihan ayahnya itu, seorang guru yang melenyapkan dorongan-dorongan nafsu diri murid muda seperti Ibn Hazm. Ketika itu wanita tidak berhijab di depan kaum pria, menurut Ibn Hazm adalah merupakan hal yang biasa di dalam dunia pendidikan di Andalusia.
Dengan kecepatan daya tangkap, kekuatan daya ingat dan kecermatan pemahamannya, Ibn Hazm menjadi pemuda yang nyaris mengungguli guru-gurunya. Guru Ibn Hazm lainnya adalah Abu al-Qãsim Abdu al-Rahmãn Ibn Abĩ Yazĩd al-Mishrĩ (wafat tahun 410 H). Ibn Hazm diajak untuk menghadiri majelis untuk belajar ilmu hadits dan sastra Arab. Ilmu yang mula-mula dipelajari oleh Ibn Hazm adalah ilmu hadits setelah ia menghafal al-Qur’an dan ilmu syai`ir bahasa Arab.
Ilmu hadits juga dipelajarinya dari al-Hamazanĩ dan Abû Bakar Muhammad Ibn Ishaq. Ilmu fiqh pertama kali diperoleh dari fiqh madzhab Maliki, karena madzhab ini yang banyak dianut oleh masyarakat Andalusia. Bahkan bisa dikatakan madzhab Maliki adalah madzhab resmi negara. Diriwayatkan bahwa Ibn Hazm pernah berkata bahwa dimasanya ada dua madzhab yang tersebar karena didukung oleh penguasa negeri, yaitu madzhab Abu Hanifah di Timur (wilayah Irak dan sekitarnya) dan madzhab Mãlikĩ di Barat (Spanyol dan sekitarnya).
Faktor mengapa Ibn Hazm mendalami ilmu fiqh dijelaskan seperti yang diriwayatkan dari Abu Muhammad Ibn al-‘Arabĩ, yaitu ketika Ibn Hazm datang ke masjid untuk shalat jenazah bagi seorang pembesar saudara ayahnya, ia langsung duduk tanpa shalat tahiyyat masjid, guru pembimibngnya memberi isyarat untuk bangkit berdiri dan shalat tahiyyat masjid namun Ibn Hazm tidak melakukannya. Banyak orang di sekitarnya berkata (seakan mengejek), Sudah sedewasa ini usiamu namun kamu belum mengerti bahwa shalat tahiyyat masjid itu wajib. Usianya kala itu 26 tahun. Ibn Hazm berkata, Lalu aku bangkit dan mengerjakan Shalat tahiyyat masjid, aku baru paham isyarat guruku tadi. 
Di waktu lain ketika Ibn Hazm masuk masjid, ia mau mengerjakan shalat tahiyyat masjid, saat itu waktu sudah menjelang maghrib, tetapi orang yang berada di sebelahnya menegurnya, duduklah, sekarang bukan waktunya untuk shalat. Ibn Hazm merasa bingung dan gelisah dengan keadaan ini. Akhirnya kepada guru pembimibngnya ia minta diantarkan ke ulama ahli fiqh.
C. Guru Imam Ibn Hazm
1) Abû Abdillãh Ibn Dahun.
Dia adalah seorang mufti ternama di Cordova. Ia lalu mengajarkan kepada Ibn Hazm kitab al-Muwattha’ karangan Imam Mãlik Ibn Anas. Ibn Hazm mempelajari kitab ini selama tiga tahun dan setelah menguasainya, ia mulai aktif melakukan diskusi dan perdebatan (munãdzarah) tentang fiqh.
2) Ibn Abdi al-Bãr al-Mãlikĩ
3) Abdullah al-Azdi (wafat tahun 403 H)
Dia dikenal dengan sebutan Ibn al-Fardhĩ, seorang qadli Valencia. Ia mempelajari ilmu fiqh dan hadits darinya. Di samping ahli dalam bidang fiqh dan hadits, Ibn al-Fardhĩ juga ahli dalam bidang sastra dan sejarah, khususnya tentang biografi para ulama Andalusia. Ibn al-Fardhĩ wafat dibunuh oleh tentara Barbar tahun 403 H.
4) Muhammad Ibn al-Hasan al-Mazhaji.
Dia lebih dikenal dengan nama Ibn al-Katãnĩ dan juga Ahmad Ibn Muhammad Ibn Abdil Waris. Dari gurunya tersebut Ibn Hazm mempelajari ilmu manthiq (logika) dan filsafat.
Ada seorang guru yang sangat berpengaruh terhadap pemikiran Ibn Hazm yaitu Mas`ud Ibn Sulaimãn Ibn Muflit, Abu al-Khiyãr (wafat tahun 426 H), seorang ulama ahli fiqh muqaran yang bermadzhab al-Zãhirĩ. Gurunya ini cenderung mengambil arti dzahir dari nash dan mempunyai daya pilih di antara berbagai madzhab. Yang menarik adalah sikapnya yang bebas untuk berpikir dan tidak terikat dengan madzhab tertentu. Dari pergaulan dengan gurunya ini Ibn Hazm sampai pada suatu pendirian sehingga ia berkata, aku mengikuti kebenaran, aku berijtihad dan aku tidak terikat oleh madzhab.
Dibekali dengan ilmu yang makin luas, serta karunia intlektualitas yang tinggi ditambah dengan kondisinya yang selalu berpindah-pindah dan dimanfaatkan untuk mengembara mencari ilmu, Ibn Hazm banyak melakukan perdebatan-perdebatan dengan ulama-ulama dimasanya. Ia tidak hanya dikenal sebagi seorang muhaddits dan faqih, namun ia juga ahli dalam berbagai bidang, seperti ushul fiqh, sastra Arab, sejarah, manthiq, filsafat, ilmu kalam dan ilmu perbandingan agama.
Di samping itu suasana keilmuan pada masa Ibn Hazm sangat mendukung dalam pencariannya akan ilmu pengetahuan, seperti perpustakaan dan universitas Cordoba yang berkembang pesat serta di Toledo (Spanyol) menjadi pusat kegiatan penerjemahan ilmu-ilmu Yunani, baik filsafat, matematika dan kedokteran. Ibn Hazm adalah pengembang madzhab al-Dzãhirĩ, bahkan ia dinilai sebagai pendiri kedua setelah Daud al-Dzãhirĩ. Ketika Ibn Hazm menginjak remaja yaitu dalam usia lima belas tahun, terjadi pemberontakan yang melibatkan ayah Ibn Hazm, setelah terjadi kekacauan yang terjadi lantaran perebutan kekuasaan, ayah Ibn Hazm meninggalkan lapangan politik serta pindah dari bagian Timur Cordoba ke bagian baratnya, kemudian wafat di sana pada tahun 402 H.
D. Murid Imam Ibn Hazm
Di antara murid-murid Ibn Hazm yang terkenal adalah:
1) Muhammad ibn Futûh ibn Îd, yang memperdalam ilmu sejarah.
2) Abû Abdillah al-Humaidĩ al-Andalusĩ, yang mendalami dan mengajarkan buku-buku karya Ibn Hazm sendiri.
E. Karya Karya Imam Ibn Hazm
Berikut ini adalah karya-karya Imam Ibn Hazm yang sangat berharga:
1) Bidang Ilmu Jadal (ilmu debat terhadap faham-faham keagamaan). Dalam bidang ini Ibn Hazm mengarang al-Fishãl Baina ahli al-Arã’ wa al-Nihal, al-Shadi wa al-Radi ‘ala Man Kaffara Ahl al-Ta’wil min Firãq al- Muslim.
2) Bidang Politik, al-Imãmah wa al-Siyãsah.
3) Bidang ilmu jiwa, Akhlaq al-Nafs. Dan masih banyak lagi karya Ibn Hazm yang lainnya. Bahkan dituturkan oleh putranya, Abu Rãfi’ al- Fadl, bahwa jumlah kitab kitab karya Ibn Hazm tidak kurang dari 400 jilid.

2. Biografi Imam Syafi`i
A. Nasab Imam Syafi`i
اسمه: محمد، ويُكْنَى، أبا عبد الله. نَسَبُه مِنْ جِهَّةِ أبيه: هو محمد بن إدريس بن العباس بن عثمان بن شافع بن السائب بن عبيد بن عبد يزيد ابن هاشم بن المطلب بن عبد مناف.
Nama asli Imam Syafi`I adalah, Muhammad Ibn Idris Ibn Abbas Ibn Utsman Ibn Syafi` Ibn Sa’ib Ibn `Abid Ibn Yazid Ibn Hasyim Ibn Abdi al-Manaf, Sedangkan Nama Julukan (Kunyah) Nya Adalah, Abu Abdillah. 

Imam Syafi`i lahir di Gaza, Palestina pada tahun 150 Hijriyah (767-820 M), berasal dari keturunan bangsawan Quraisy dan masih keluarga jauh Rasulullah SAW. dari ayahnya, garis keturunannya bertemu di Abdul Manaf (kakek ke-tiga Rasulullah) dan dari ibunya masih merupakan cicit Ali ibn Abi Thalib RA. Semasa dalam kandungan, kedua orang tuanya meninggalkan Mekkah menuju palestina, setibanya di Gaza, ayahnya jatuh sakit dan berpulang ke rahmatullah, kemudian beliau diasuh dan dibesarkan oleh ibunya dalam kondisi yang sangat prihatin dan serba kekurangan, pada usia 2 tahun, ia bersama ibunya kembali ke Mekkah dan di kota inilah Imam Syafi`i mendapat pengasuhan dari ibu dan keluarganya secara lebih intensif.
Saat berusia 9 tahun, beliau telah menghafal seluruh ayat Al-Quran dengan lancar bahkan dalam perjalanannya dari Mekkah menuju Madinah beliau sempat 16 kali khatam al-Quran. Setahun kemudian, kitab Al Muwattha’ karangan imam malik ibn Anas yang berisikan 1.720 hadits pilihan juga dihafalnya di luar kepala. Imam Syafi`i juga menekuni bahasa dan sastra Arab di dusun badui bani Hudzail selama beberapa tahun, kemudian beliau kembali ke Mekkah dan belajar fiqh dari seorang ulama besar yang juga mufti kota Mekkah pada saat itu, yaitu Imam Muslim ibn Khalid Azzanji. 
Kecerdasannya inilah yang membuat dirinya dalam usia yang sangat muda (15 tahun) telah duduk di kursi mufti kota Mekkah, namun demikian Imam Syafi`i belum merasa puas menuntut ilmu karena semakin dalam beliau menekuni suatu ilmu, semakin banyak yang belum beliau mengerti, sehingga tidak mengherankan bila guru Imam Syafi`i begitu banyak jumlahnya sama dengan banyaknya para muridnya. 
Mushab bin Abdillah al-Zabĩrĩ berkomentar bahwa pada hakikatnya Imam Syafi'i sewaktu masih muda hanya tertarik dengan ilmu-ilmu syi'ir, puisi, sajak arab klasik, kemudian beliau terjun kedalam kancah ilmu pengetahuan lain dengan mempelajari al-Hadits dan Fiqih. Selanjutnya, setelah Imam Syafi'i hafal al-Qur'an, beliau mempelajari sastra Arab, lalu al-Hadits, kemudian Fiqh. Sedang ketertarikan beliau pada bidang Fiqh ini ialah lantaran pengikutnya yang saat mengikuti berjalan menuntut ilmu pengetahuan, sebab selama dalam perjalanan beliau selalu mengumandangkan syi'ir-syi'ir, sehingga diingatkan oleh pengikutnya dengan mengatakan bahwa "Waktu Muda itu jangan dihabiskan hanya untuk bersyi'ir, alangkah baiknya jika dimanfaatkan untuk mempelajari al-Hadits dan fiqh”. Dan saat umur 15 tahun beliau sudah menjadi Mufti Makkah setelah berguru kepada Muslim bin Khalid a1-Zanji, lalu ke Madinah dan berguru kepada Imam Malik bin Anas dan Sufyan bin 'Uyainah. Lantaran kecerdasannya kitab al-Muwattha' sudah dapat dihafalkan beliau selama 9 hari-sembilan malam. 

B. Pendidikan dan Guru-Guru Imam Syafi`i
Tentang menuntut ilmu beliau mengatakan, “Menuntut ilmu lebih baik dari shalat sunnah”. Dan yang beliau dahulukan dalam belajar setelah hafal Al-Qur’an adalah membaca hadits. Beliau mengatakan, “Membaca hadits lebih baik dari pada shalat sunnah”. Karena itu, setelah hafal Al-Qur’an beliau belajar kitab hadits karya Imam Malik bin Anas kepada pengarangnya langsung pada usia yang masih belia.
1) Belajar di Mekkah
Di Mekkah, Imam Syafi`i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim ibn Khalid al-Zanji, sehingga ia mengizinkannya memberi fatwa ketika masih berusia 15 tahun. Oleh karena ia telah merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan syi`irnya. Imam Syafi`i belajar fiqih dari para ulama fiqih yang ada di Mekkah, seperti Muslim ibn khalid al-Zanji, yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti Mekkah.
Kemudian dia juga belajar dari Dawud ibn Abdurrahman al-Atthãr, juga belajar dari pamannya yang bernama Muhammad ibn Alĩ ibn Syãfi`, juga belajar dari Sufyãn ibn Uyainah.
Guru yang lainnya dalam fiqih ialah, Abdurrahman ibn Abĩ Bakr al-Mulaiki, Sa`ĩd ibn Salĩm, Fudlail ibn al-Iyãdl dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun semakin menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam beberapa tahun duduk di berbagai halaqah ilmu para Ulama fiqih.
2) Belajar di Madinah
Kemudian ia pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Mãlik ibn Anas. Ia mengaji kitab Muwattha’ langsung kepada mushannifnya (Imam Malik ibn Anas), dan menghafalnya dalam sembilan hari sembilan malam. Imam Syafi`i meriwayatkan hadits dari Sufyãn ibn Uyainah, Fudlail ibn Iyãdl dan pamannya, Muhammad ibn Syafi` dan lain-lain.
Imam Syafi`i menghapal dan memahami dengan cemerlang kitab karya Imam Malik, yaitu Al-Muwattha’. Kecerdasannya membuat Imam Malik sangat mengaguminya. Sementara itu Imam Syafi`i sendiri sangat mengagumi Imam Malik di Madinah dan Imam Sufyan ibn Uyainah di Mekkah.
Imam Syafi`i menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang terkenal berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik ibn Anas dan Sufyan ibn Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz”. Ia juga menyatakan lebih lanjut kekagumannya kepada Imam Malik: “Bila datang Imam Malik disuatu majelis, maka Malik menjadi bintang di majelis itu”. Ia juga sangat terkesan dengan kitab Al-Muwattha’-nya Imam Malik sehingga ia menyatakan: “Tidak ada kitab yang lebih bermanfaat setelah Al-Qur’an melebihi kitab Al-Muwattha’”. Ia juga menyatakan: “Aku tidak membaca Al-Muwattha’nya Imam Malik kecuali mesti bertambah pemahamanku”.
Dari berbagai pernyataannya di atas dapatlah diketahui bahwa guru yang paling ia kagumi adalah Imam Malik ibn Anas, kemudian Imam Sufyãn ibn Uyainah. Imam Syafi`i juga duduk menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama yang ada di Madinah, seperti Ibrahim ibn Sa`ad, Isma`il ibn Ja`far, Atthaf ibn Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi. Ia juga banyak menghafal ilmu di majelis Ibrahim ibn Abi Yahya. Tetapi sayang, gurunya yang terakhir ini dalam meriwayatkan hadits adalah pendusta, memiliki pandangan yang sama dengan madzhab Qadariyah yang menolak untuk beriman kepada taqdir dan berbagai kelemahan fatal lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini telah terkenal dengan gelar sebagai Imam Syafi`i, khususnya di akhir hayatnya, ia tidak mau lagi menyebut nama Ibrahim ibn Abi Yahya ini dalam berbagai periwayatan ilmu.
3) Di Baghdad, Irak
Pada tahun 183 dan tahun 195 H, Imam Syafi`i pergi ke Baghdad, di sana ia menimba ilmu dari Muhammad ibn Hasan. Ia memiliki tukar pikiran yang menjadikan Khalifah Al-Rasyid.
4) Di Mesir
Di Mesir Imam Syafi`i bertemu dengan murid Imam Malik yakni Muhammad ibn Abdillah ibn Abdil Hakim. Di Baghdad, Imam Syafi`i menulis madzhab lamanya (qaul qadim). Kemudian dia pindah ke Mesir tahun 200 H dan menuliskan madzhab baru (qaul jadid). Di sana dia wafat sebagai syuhada’ul ilm di akhir bulan Rajab 204 H.
C. Murid-Murid Imam Syafi`i
Adapun murid-murid Imam Syafi`i yang tersebar di berbagai negeri ialah:
1) Di Mekkah
Abû Bakar al-Humaidĩ, Ibrahĩm bin Muhammad al-`Abbãs, Abû Bakar Muhammad bin Idrĩs, Mûsã bin Abĩ al-Jarûd.
2) Di Bagdad
diantara murid-murid Imam Syafi`i yang ada di Bagdad adalah,
1) Abû Alĩ al-Hasan bin Muhammad al-Shabah al-Baghdadĩ al-Za`farãniy ( w. 260 H. ).
2) Husain bin Ali al-Karabishiy ( w. 240 H. ).
3) Ahmad bin Hanbal ( paendiri Madzab Hanbali, w. 240 H.
4) 4). Abu Thaur al-Kalabiy ( w. 240 H. ).
5) Ishak Rahawaih ( w. 277 H. ).
6) Al-Rabi` bin Sulaimãn al-Murãdiy (w. 270 H. yang ikut pindah beliau ke Mesir).
7) Abdullah bin Zubair al-Humaidiy (w. 219 H., yang juga ikut pindah baersarna beliau ke Mesir.
3) Di Mesir
Sedangakn yang ada di Mesir murid imam Syafi`i ialah:
1) Abu Ya'kub Yusuf bin Yahya al-Buwaithy (w.232 H. ).
2) Abu Ibrahim Isma'il bin Yahya al-Muzany (w.264 H.).
3) Al-Rabi' bin Sulaiman al-Jiziy ( 256 H. ).
4) Harmalah bin Yahya al-Tujibiy ( w. 243 H.)
5) Yusuf bin Abdul A'la ( w. 264 H. )126.
6) Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam (w. 268 H. )127, yang keluar dari madzab Syafi'i 128ke madzab Maliki sebagai madzab ayahnya. 
al-Buwaiti, Ismail, Muzanni, Muhammad ibn ‘Abdullah ibn Abdu al-Hakam dan al-Rabi` ibn Sulaiman. Adapun ulama-ulama masyhur yang banyak meriwayatkan hadits-hadits Imam Syafi`i diantaranya: Ahmad bin Khalid al-Khallal, yaitu Abu Bakar Ja`far al-Bagdadiy. Ahmad bin Sinan bin As’ad bin Hibban al-Qatatan. Ahmad bin Salih al-Misri, laqabnya Abu Ja`far al–Tabari, al-Hafiz. Ahmad bin Hambal, penyusun kitab Musnad Ahmad bin Hambal dan pendiri madzhab Hambali. Ibrahim bin Khalid bin al-Yaman abu Sur al-Kalbiy al-Bagdadiy. Isma`il bin Yahya bin Isma’il dengan laqab al-A’immah al-Jalil Abu Ibrahim al-Muzanniy, ‘ulama’ besar yang banyak menyusun naskah dan fatwa Imām al-Syāfi’i dan juga mneyusun hadis beserta sanadnya. Bahr bin Nasr ibnu Sabiq al-Khuzaimiy yang memperdalam masalah ikhtilaf hadis dari Imām al-Syāfi’i. Al-Rabi’ bin Sulaiman al-Muradiy. Ia adalah murid utama Imām al-Syāfi’i di Mesir yang meriwayatkan kitab-kitabnya termasuk menyusun musnad Syafi`i, hadisnya banyak diriwayatkan oleh Abu Daud, al-Nasa’iy, Ibnu Majah, dan Abu Zur’ah. Harmalah bin Yahya bin ‘Abdullah, hadisnya banyak diriwayatkan oleh al-Nasa’i dan Ibnu Majah.
D. Karya-Karya Imam Syafi`i
Adapun kitaab-kitab yang ditulis atau didektikan imam Syafi'i sendiri kepada murid-muridnya maupun kitab-kitab yang dinisbatkan kepadanya itu tidak kurang 113 buah kitab, baik yang membahas tentang Tafsir, Fiqh, adab maupun lainnya, diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Kitab ”Al-Ri'salah”. Dalam kitab ini disusun oleh beliau secara sistematis, dimana didalamnya membahas tentang beberapa ketentuan yang ada di dalam dua nash, baik itu dalam al-Qur'an dan al-Hadits, masalah-masalah yang berkaitan dengan adanya Nasikh-Mansukh, masalah jarah-ta'dil di dalam al-Hadits, syarat-syarat penerimaan sanad dari para perowi tunggal, masalahmasalah yang berkaitan dengan Ijma', Ijtihad, lstihsan dan al-Qiyas.122 2).
2) Kitab Al-Um, Kitab ini disusun oleh beliau secara sistematis dengan penyajian materi didalamnya yang argumentatif, sebagaimana yang diungkapkan oleh muridnya bernama Rabi'ah bin Sulaiman“. Pembahasan dalam kitab ini, terdiri dari masalahmasalah yang berkaitan dengan 'Ibadah, mu'amalah, masalah pidana dan munakahat. Sedang dalam jilid ke-7 memuat berbagai macam persoalan , seperti: a. Adanya perbedaan pandangan antara Imam syafi'iy dan Imam Malik.

1) Ar-Risalah, Salah satu karangannya adalah “Ar-risalah” buku pertama tentang ushul fiqh.
2) Al-Ummu, sebagai madzhab yang baru Imam Syafi’i diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir; Al Muzani, Al Buwaithi, Ar Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Imam Syafi`i mengatakan tentang madzhabnya,”Jika sebuah hadits shahih bertentangan dengan perkataanku, maka buanglah perkataanku di belakang tembok”.
3) Al-Risalah al-Jadidah.
4) Ikhtilaf al-Hadits.
5) Ibthal al-Istihsan.
6) Ahkam al-Qur’an.
7) Sifah al-Amri wa al-Nahyi.
8) Ikhtilaf al-Malik wa al-Syafi`i.
9) Ikhtilaf al-`Iraqiyyin.
10) Al-Sunan.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.